Ta’wil,
Hermeneutika Islam
Makalah
Diajukan untuk tugas
mata kuliah
“Filsafat Komunikasi”

Oleh:
Muhamad Arobi (B36208010)
Dosen Pembimbing:
FITRIANA UTAMI DEWI,
M.Med.Kom
FAKULTAS
DAKWAH
PRODI
ILMU KOMUNIKASI/5-H2, PUBLIC RELATIONS
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran dan hadist yang sampai kepada kita masih asli dan otentik, sehingga
dalam pemahamannya memerlukan beberapa ilmu agama. Diantaranya adalah ushul
fiqh yang berupa pentakwilan-pentakwilan dalam proses pemahaman dalil-dalil
tersebut. Selain itu dalam memahami suatu ayat tidak harus langsung secara
tekstualnya saja, akan tetapi kita harus memahaminya secara kontekstualnya
juga. Sehingga dalam makalah ini kami akan membantu menjelaskan beberapa
pengetauhan tentang takwil. Serta hermeneutika
sebagai metode yang akan melengkapi penafsiran dalam Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah definisi takwil dan
hermeneutika tersebut?
2.
Apakah objek kajian takwil dan hermeneutika tersebut?
3.
Apakah syarat-syarat takwil tersebut?
- Apakah macam-macam takwil tersebut?
- Bagaimanakah pandangan para filsuf terkait takwil?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Definisi
Takwil dan Hermeneutika
Terkait
pembahasan takwil sebagai hermeneutika penafsiran al Qur’an maka harus disamakan
dulu persepsi terkait takwil dan hermeneutika agar nantinya tidak ada polemik
wacana yang terjadi dalam penulisan makalah ini.
1. Definisi
Takwil
Takwil
menurut bahasa artinya kembali atau balik. Lebih luasnya takwil berarti
ungkapan atau penjelasan suatu pandangan. Kata takwil dapat ditemukan pada QS.
Ali Imran 7, An Nisa 59, Yusuf 44, Yusuf 100.
Ulama
salaf à menegaskan, takwil adalah:
1.Menafsirkan
kalimat dan menerangkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriah
kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. (cakupannya: bab ilmu, dan
rangkaian kalimat/keterangan seperti tafsiran, komentar, dan penjelasan).
2. Esensi
dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. (cakupannya: esensi
perkaran-perkara yang didapati di luar, baik terjadi pada masa lampau ataupun
yang akan datang).
Secara Terminologi, Ulama Salaf lainnya mendefinisikan takwil sebagai berikut:
- Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa
“Sesungguhnya takwil itu dalah
ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang
didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditujukan oleh lafazh zahir.”
- Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa:
“Membawa makna lafazh zohir yang
memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin
mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul
fiqh, yaitu:
Menurut Wahab
Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra
takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang
lain, tetapi bukan zahirnya.[1]
Dalam literatur lain disebutkan takwil sebagai
Interpretasi metaforis atau ta'wil, ialah pemahaman atau pemberian pengertian
atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah)
sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata
pada teks sumber suci itu, tapi pada "makna dalam" (bathin, inward
meaning) yang dikandungnya.
Takwil adalah Gagasan dan usaha untuk menggali,
meneliti, dan mengembangkan teori sastra yang pernah dan sedang tumbuh dalam
tradisi intelektual Islam, patut disambut dengan gembira sebab sangat tepat
pada waktunya.
2.
Definisi hermeneutika masihlah
terus berkembang.
Menurut Richard E.
Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal,
hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran
(science of interpretation). Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering
didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical
exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general
philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua
pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika
sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological
foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman
eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of
existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran
(system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat
diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna
yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi
tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang
sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut,
masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam
hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat
dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran
teks. Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi
tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya
dari hermeneutika.
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling
banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip
penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran
yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada
era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam
penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran,
melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan
aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah
sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam
refleksi-refleksi non teologis.
1.
Objek
Kajian Takwil
Beberapa macam
onjek kajian takwil, diantaranya adalah:
1. Kebanyakan adalah masalah furu’iyah
dalam dalil-dalil yang zhonni.
2. Takwil harus berdasarkan dalil syara’, baik nas (Qur’an dan
hadis)
3.
Qiyas ataupun jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang umum.
Jika dalilnya berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qias jalli).
3. Syarat-syarat Takwil
Takwil erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal
dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk
salah satu metode ijtihad dengan Ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud
dengan dalil. Adapun syarat-syarat takwil adalah sebagai berikut:
§
Lafadz
yang di-Takwil harus benar-benar memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan
ketentuan hukumnya tidak bisa di-Takwil. Namun menurut Hanafiyah, Takwil itu
boleh sekalipun pada Nash yang Zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan
Syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum Syari’at adalah sumber
Takwil, karena banyak Nash yang yang arti Zahir-Nya mengandung makna Juz’i.
§
Takwil
harus brdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan Takwil
Contoh Takwil dari Nash yang di dalamnya terdapat
pertentangan antara Zahir Nash yang mengandung arti Juz’i dengan dasar umum
syari’at, adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:
“Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan
keluarganya”
Siti Aisyah menolak hadits tersebut
karena menurutnya bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam
al-Qur’an.
Sebagian Mujtahid mentakwil hadits
tersebut, kemudian mereka menaqyid dengan jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi
tidak bertentangan setelah di Taqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan
mengamalkan dua Nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang dianggap
terbaik dari pada mencela salah satunya.
Dengan contoh di atas, dapat
diketahui bahwa Takwil itu ada karena adanya pertentangan dalam Nash yang artinya
Zahir. Takwil dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian:
a.
Takwil
Berdasarkan Dalil adalah Maslahat
Yang dimaksud maslahat di sini
bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu harus Nash tertentu, tetapi dalil yang
mentakhsis dalil umum. Takhsis merupakan salah satu bagian dari Takwil , bahkan
yang paling banyak dipakai.
Contoh firman Allah SWT yang artinya:
“Para ibu
hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh…”
Dari Zahir ayat tersebutdapat
dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu, dan kata al-walidatu
itu lafazh-nya umum yang mencakup setiap ibu.
Imam Malik menakhsis keumumannya
dengan perbuatan adat (Urf amaly). Dia berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan
menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya, maka bila seorang ibu sakit
sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya
karena menjaga dari kemadharatan. Dan menjaga kemaslahatan adalah maslahat.
Pengubahan arti yang dilakukan Imam
Malik terhadap lafazh al-walidatu dari artinya yang zahir membawa lafazh
umum kepada yang khusus dengan menggunakan dalil Urf amaly, sehinnga
yang tadinya umum menjadi khusus. Dia menolak bahwa perempuan yang sakit wajib
menyusui anaknya. Maka arti ayat menjadi:
“Dan ibu-ibu yang tidak sakit untuk
menyusui anak-anak mereka sesuai kebiasaan adat, maka mereka menyusui anak-anak
mereka.”
Takhsis pada permasalahan seperti itu bukunlah kemaslahatan dengan
zatnya, tetapi dengan dalil-dalil yang berasal dari dasar-dasar umum syari’at.
Dalam hal ini kemadharatan yang
betul-betul berat harus dijaga dengan cara menghalangi penyebabnya. Dan
bergantung pada keumuman hadits. Jika menggunakan Takhsis dengan dalil
kemaslahatan, maka selesailah pertentangan antara masalah Juz’i dengan dasar
umum syari’at.
b.
Mentakhsis
Keadaan Umum dengan Kemaslahatan
Yang dimaksud keadaan umum adalah
kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an yang Artinya:
“Dia-lah yang telah menjadikan
untuk kamu semua apa-apa yang ada di bumi.” (al-Baqarah : 29)
Diantara kemerdekaan umum adalah
kemerdekaan berjual beli dan hak memiliki terhadap barang. Kemerdekaan memiliki
terhadap barang adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia, dengan
mengutamakan persamaan, karena hal itu termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Itulah
sebabnya Nabi Muhammad SAW. Mengkhususkan kemerdekaan umum tersebut dalam
mua’malah. Hal ini juga dikuatkan dengan firman Allah SWT yang artinya:
“Kecuali kamu semua melakukan jual beli diantara
kamu berdasarkan kerelaan dari kamu semua.” (QS. An-Nisa’:29)
Takhsis seperti itu adalah
berdasarkan kemaslahatan umum, begitu pula larangan jual beli gharar dan jual
beli yang mengandung riba, karena di dalamnya terdapat pengikisan keadilan dan
terdapat unsure memakan harta manusia secara bathil, yakni kaidah yang
menghilangkan keridhaan.
§
Lafadz
Mencakup Arti yang Dihasilkan Melalui Takwil Menurut Bahasa
Penakwilan menurut bahasa dilakukan
secara tekstual, kontekstual atau majaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal
dari pemakaian yang sudah dikenalatau adat syara’.
Adat syara’ telah banyak menakhsis
dalil-dalil umum pada sebagian besar nash, sehingga para ulama’ Ushuliyyin
berkata, “Tidak ada sesuatau yang umum, kecuaali telah ditakhsis.” Hal
itu menunjukkan bahwa adat syara’ telah banyak menakhsis sebagian besar dalil
yang umum, sehingga takhsis tersebut menjadi sunnah dalam syari’at. Hal itu
cukup menunjukkan bahwa bagian ini sah menjadi bagian takwil.
§
Takwil
tidak boleh bertentangan dengan nash yang Qath’i, karena nash tersebut bagian
dari aturan syara’yang umum
Takwil adalah metode ijtihad yang
bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang qath’i.
Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dengan mengubah arti
yang zhahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu
bertentangan dengan kejelasan ayat yang Qath’i yang menjadikan kisah tersebut
sebagai kejadian sejarah yang nyata.
§
Arti
dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan
dalil
Pertentangan
antara zahir dengan nash tidaklah diragukan lagi bahwa nash itu menkhsis yang
zahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas.
Penakwilan yang
berdasarkan hikmah pembinaan syari’at merupakan roh nash yang menguatkan dan
merupakan tujuan pokoknya. Disini dapat dilihat bahwasannya disyari’atkannya
sesuatu itu lebih kuat dari pada zahir lafazh-nya. Begitu pula
pertentangan-pertentangan arti yang diambil dari nash melalui metode
pengambilan dalil. Dalam hal ini terdapat beberapa metode untuk menunjukkan
nash pada artinya, yaitu:
§ Arti yang didapat melalui metode ibarah
nash, adalah yang terkuat dari segi hujjah
§ Arti yang didapat melalui metode isyarah
nash
§ Arti yang didapat melalui metode
maksudnya (fahwu). Dikalangan Ulama’ Ushul lebih dikenal dengan istilah dilalah
nash
§ Arti yang didapat melalui metode iqtidha
yaitu arti mewajibkan untuk memperkirakannya dalam ucapan supaya artinya sah
menurut syara’.
Apabila terjadi
pertentangan diantara ke empat pernyataan di atas, ibarat nash harus
didahulukan dari isyarat nash. Keduanya didahulukan dari metode maksudnya
(fahwu) dan kemudian yang terakhir adalah metode muqtadha.
Sebagian acuan
dalam menentukan kekuatannya adalah sejauh mana kejelasan maksud syara’dalam
setiap dalilnya.
Terkadang takwil
tidak membutuhkan dalil sebagaiman telah dijelaskan tadi, tetapi dimungkinkan
berdasarkan pada oemahaman yang dangkal, akal, dan teks sesuatu. Takwil seperti
itu dinamakan oleh ulama’ Ushul dengan istilah takwil qarib yang cukup memakai dalil
yang terendah.
Misalnya firman Allah
SWT yang artinya:
“ …apabila kanu hedak
mengerjakan shalat, basuhlah mukamudan tanganmu sampai siku…” (QS.Al- Maidah:
6)
Arti zhahir dari
ayat tadi adalah mengharuskan berwudhu setelah melaksanakan shalat. Pemahaman
seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang
mengharuskan berwudhu terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik
menurut akala ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, Lafazh al-qiyamu dalam
firman Allah ta’ala di atas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya
yang hakiki kepada artinya yang majazi yaitu al-‘ajmu (bermaksud) mendirikan,
bukan mendirikan dengan sendirinya.
Macam-macam
takwil
Macam-macam
takwil ini menurut wahbah al zuhaili dibagi menjadi dua:
1. Takwil yang jauh dari kepahaman
yaitu lafaz yang tidak cukup dengan penetapan dalil secara sederhana. Contoh:
“….Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin….”
Menurut golongan hanafiah bahwa
sepuluh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ukuran wajib mngeluarkan
makanan untuk kafaratnya.
Sehingga boleh jadi apabila terdesak dalam
mengeluarkannya kita boleh memberikan makanan satu orang miskin dengan sepuluh
makanan.
2.
Takwil
yang dekat dari pemahamannya, yaitu lafaz yang cukup dengan penetapan dalil
secara sederhana. Contoh: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu …..”
Makna qama (berdiri) di atas
adalah merupakan takwil yang dipalingkan dari kejelasan lafaznya. Sedang yang
dimaksudkan adalah mengerjakan shalat serta telah masuk kepada waktunya.[2]
B.
Takwil dengan Hermeneutika
Sebenarnya tidaklah
sulit bagi kita, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam
dengan konsep Hermeneutika di Barat.
Dari sisi etimologis
padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu
adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman
yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan
penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari
atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.
Namun, perlu diketahui
bahwa makalah ini mencoba untuk menerangkan bahwa takwil sebagai penafsiran
teks-teks al Qur’an dapat dilakukan melalui metode yang berupa hermeneutika.
Secara singkatnya takwil adalah tafsirannya, dan hermeneutika adalah cara atau
metode untuk menafsirkannya. Sehingga persepsi inilah yang harus difahami dulu
untuk selanjutnya tidak terjadi perdebatan dalam tulisan-tulisan makalah yang
selanjutnya.
C. Ta'wil Sebagai Penafsiran Al- Qur'an
Interpretasi metaforis atau ta'wil, ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber suci itu, tapi pada "makna dalam" (bathin, inward meaning) yang dikandungnya.
Metode pemahaman serupa itu (ta'wil) telah muncul sejak masa-masa dini sejarah Islam (jika tidak malah sejak masa Rasul Allah saw. sendiri, sebagaimana dikatakan kalangan Islam tertentu). Karena itu persoalan interpretasi metaforis ini mempunyai saham cukup besar dalam timbulnya perselisihan, kemudian perpecahan, di kalangan kaum Muslim. Maka salah satu manfaat yang menjadi tujuan tulisan ini ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang bibit-bibit perselisihan paham dalam Islam, serta bagaimana seharusnya kita menempatkan diri dalam kancah perselisihan itu secara adil. Sikap dapat memahami persoalan berkenaan dengan perselisihan paham di kalangan umat itu semakin dirasa mendesak akhir-akhir ini.
Dalam abad telekomunikasi mondial yang serba cepat dan luas, setiap pribadi orang modern mengalami bombardemen informasi yang seringkali menyangkut segi-segi kesadarannya yang mendalam. Dari sekian banyak informasi itu, untuk kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umat. Islam sendiri di seluruh dunia, termasuk informasi tentang adanya berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang beraneka ragam Terlintas dalam pikiran, misalnya kesadaran hamper tiba-tiba kaum Muslim Indonesi tentang adanya golongan Syi'ah dan berbagai alirannya, antara lain karena revolusi mereka di Iran 1979.
Lepas dari masalah revolusi itu sendiri (yang agaknya lebih baik dilihat sebagai gejala politik, seperti halnya dengan revolusi-revolusi lain), kejadian di Iran pada penghujung dasawarsa lalu itu dalam suatu sentakan, telah melahirkan sejenis kesadaran baru di kalangan umat Islam dunia, yaitu kesadaran tentang pluralitas Islam dan potensi yang ada di balik setiap golongan.
Maka dengan menengok masalah ta'wil ini, kita berharap dapat menempatkan diri lebih baik alam memandang berbagai aliran dan madzhab di kalangan umat sendiri, untuk kemudian sikap yang sama itu sedapat mungkin kita bawa pada persoalan masyarakat secara seseluruhan.
D. Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
Salah satu pokok perselisihan di kalangan umat Islam yang terkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur'an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan yang "bermakna samar atau tidak pasti" (mutasyabihat, yakni, yang interpretable).
Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut: Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, yang didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasyabihat.
Ada pun orang-orang yang dalam hatinya terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian tersamar itu. Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam.[3]
Masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabihat.
Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkamat, tapi bagi sebagian mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun ("Kaum Kebatinan" - lihat pembahasan di bawah), bersifat mutasyabihat sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai metafor-metafor atau kias-kias, yang tak mesti menunjuk pada hakikatnya. Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu, harus dilakukan interpretasi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah. Sebagian lagi yang tidak membolehkannya, berpendapat dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya.
Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab: ism musytarak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata "mendengar," "mengetahui," "melihat,', "tangan", "marah," "senang"' dan lain-lain yang dalam Kitab Suci disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia. Maka pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia "berserikat" dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini menimbulkan problema.
Mereka yang melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian lahir firman-firman itu. Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."
Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam. Ini membawa konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas, al-khawash) dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang pertama adalah "kaum ahli," dan yang kedua terdiri dari "orang-orang kebanyakan."
E. Pandangan Para Filsuf
Seperti dapat diduga, para filsuf adalah kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah). Mereka dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris. Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan.
Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai penganut kearifan" (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana (al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan ("para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni kebenaran tak terbantah").
Kelebihan mereka itu, mereka adalah golongan khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan. Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin: Averroes), misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi (dikutip di atas) sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap bunyi teks-teks suci. Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang mendalam ilmunya" termasuk ke dalam yang mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, "... Padahal tidak mengetahui ta'wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, "Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..." sebagai ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas.[4]
Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya. Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi "kebohongan" Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan "kebohongan untuk kebaikan" (al-kidzb li al-mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah. Karena "pendidikan" itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama.
Para flsuf harus melakukan ta'wil terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah (Hadits), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu. Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi (karena bagi mereka ajaran- jaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak).
Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau kemampuan akal mereka. Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran, baik dari pihak khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd berpendapat, ta'wil harus disimpan dan dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas saja.[5] Sehingga sering dikatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.
Seorang sarjana Muslim modern penafsir al-Qur'an, Muhammad Asad, berpegang pada pandangan dalam masalah ta'wil. Asad berpendapat bahwa al-Qur'an memang mengandung ayat-ayat yang pasti maknanya tanpa samar, namun kebanyakan justru firman-firman yang metaforis. Menurut sarjana ini, sifat alegoris atau metaforis keterangan-keterangan dalam Kitab Suci itu tak dapat tidak harus digunakan sebagai metodologi penyampaian pesan, sebab manusia tidak akan dapat memahami sesuatu yang samasekali abstrak, yang tidak ada asosiasinya dengan apa yang sudah ada dalam alam pikirannya.
Namun manusia, dalam usahanya memahami keterangan-keterangan suci itu, tak dibenarkan menganggap perolehannya sebagai mutlak dan final, sebab "tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada berpikir bahwa "terjemahan-terjemahan" (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa manusia) itu dapat memberi definisi pada sesuatu yang tak mungkin didefinisikan."[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Takwil adalah Gagasan dan usaha untuk menggali,
meneliti, dan mengembangkan teori sastra yang pernah dan sedang tumbuh dalam
tradisi intelektual Islam, patut disambut dengan gembira sebab sangat tepat
pada waktunya. Sedangkan hermeneutika sebagai
prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation).
Keduanya merupakan suatu hal yang berbeda namun sangat tipis perbedaannya.
Namun melalui kedua hal tersebut penafsiran dilakukan.
Telah
dikatakan, bahwa tujuan
kita membahas persoalan interpretasi metaforis ini antara
lain ialah untuk mendapatkan kesadaran
tentang suatu dimensi
pemahaman keagamaan dalam Islam yang ikut memberi corak
keanekaragaman kaum Muslim
didunia. Dari uraian di atas diharapkan ada sedikit kejelasan bahwa
masing-masing kelompok atau aliran dalam Islam
memiliki reasoning mereka sendiri
dalam memilih suatu pemahaman agama.
Sebagian dari
reasoning itu tentu saja, bersumber pada
atau bersifat murni keagamaan.
Tapi juga tidak sedikit daripadanya yang
semata-mata merupakan hasil
interaksi antara sesama orang-orang Muslim
sendiri atau antara
orang-orang Muslim dengan non-Muslim dalam sejarah. Dan
sementara kita melihat orang lain demikian, pada waktu yang
sama kita harus menyadari bahwa
orang lain pun
melihat kita demikian.
Dari sudut pandangan inilah
absurd-nya pengakuan diri sendiri sebagai yang paling
benar, meskipun dari
sudut pandangan lain, keyakinan, misalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Terjemahan Al Qur;an Al Karim. Depag RI. Tahun 1995
Syafi’I, Rahmat. 1998, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia
A.Hanafi. 1963, Usul Fiqh,
Jakarta: Widjaya
Ibn Rusyd, Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang,1984, h. 217).
Romli. 1998, Muqaranah Mazahib Fil
Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama
Al-Zuhaili, Wahbah. 1996, Ushul Fiqh
Islami, Damaskus: Daar Al-Fikr
Khalaf, Abdul Wahab. 1972, Ushul
Al-Fiqh. Kairo: Maktabah Da’wah Islamiyah. Cet III
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, appendix 1, h.991
[1]
Prof. DR. Rahmat Syafi’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia,
1998, hal. 196
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul
Fiqh Islami. Damaskus: Daar Fiqr. 1996. hal. 316
[4] Ibn Rusyd, buku Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang,1984, h. 217).
[6] Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, appendix 1, h.991.
0 comments
click to leave a comment!