search here and find more articles

Kamis, 18 Desember 2014

Ta’wil, Hermeneutika Islam

Ta’wil, Hermeneutika Islam
Makalah
Diajukan untuk tugas mata kuliah
“Filsafat Komunikasi”


LOGO IAIN
Oleh:
   Muhamad Arobi    (B36208010)
   

Dosen Pembimbing:
FITRIANA UTAMI DEWI, M.Med.Kom

FAKULTAS DAKWAH
PRODI ILMU KOMUNIKASI/5-H2, PUBLIC RELATIONS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Quran dan hadist yang sampai kepada kita masih asli dan otentik, sehingga dalam pemahamannya memerlukan beberapa ilmu agama. Diantaranya adalah ushul fiqh yang berupa pentakwilan-pentakwilan dalam proses pemahaman dalil-dalil tersebut. Selain itu dalam memahami suatu ayat tidak harus langsung secara tekstualnya saja, akan tetapi kita harus memahaminya secara kontekstualnya juga. Sehingga dalam makalah ini kami akan membantu menjelaskan beberapa pengetauhan tentang takwil. Serta hermeneutika sebagai metode yang akan melengkapi penafsiran dalam Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.                  Apakah definisi takwil dan hermeneutika tersebut?
2.      Apakah objek kajian takwil dan hermeneutika tersebut?
3.      Apakah syarat-syarat takwil tersebut?
  1. Apakah macam-macam takwil tersebut?
  2. Bagaimanakah pandangan para filsuf terkait takwil?



BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Takwil dan Hermeneutika
Terkait pembahasan takwil sebagai hermeneutika penafsiran al Qur’an maka harus disamakan dulu persepsi terkait takwil dan hermeneutika agar nantinya tidak ada polemik wacana yang terjadi dalam penulisan makalah ini.
1.      Definisi Takwil
Takwil menurut bahasa artinya kembali atau balik. Lebih luasnya takwil berarti ungkapan atau penjelasan suatu pandangan. Kata takwil dapat ditemukan pada QS. Ali Imran 7, An Nisa 59, Yusuf 44, Yusuf 100.
Ulama salaf à menegaskan, takwil adalah:
1.Menafsirkan kalimat dan menerangkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriah kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. (cakupannya: bab ilmu, dan rangkaian kalimat/keterangan seperti tafsiran, komentar, dan penjelasan).
2. Esensi dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. (cakupannya: esensi perkaran-perkara yang didapati di luar, baik terjadi pada masa lampau ataupun yang akan datang).
Secara Terminologi, Ulama Salaf lainnya mendefinisikan takwil sebagai berikut:
  1. Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.
  1. Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa:
“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya.[1]
Dalam literatur lain disebutkan takwil sebagai Interpretasi metaforis atau ta'wil, ialah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber suci itu, tapi pada "makna dalam" (bathin, inward meaning) yang dikandungnya.
Takwil adalah Gagasan dan usaha untuk menggali, meneliti, dan mengembangkan teori sastra yang pernah dan sedang tumbuh dalam tradisi intelektual Islam, patut disambut dengan gembira sebab sangat tepat pada waktunya.
2.      Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang.
Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation). Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks. Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
1.      Objek Kajian Takwil
Beberapa macam onjek kajian takwil, diantaranya adalah:
1. Kebanyakan adalah masalah furu’iyah dalam dalil-dalil yang zhonni.
2. Takwil harus berdasarkan dalil syara’, baik nas (Qur’an dan hadis)
3. Qiyas ataupun jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang umum. Jika dalilnya berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qias jalli).

3. Syarat-syarat Takwil
Takwil erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan Ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Adapun syarat-syarat takwil adalah sebagai berikut:
§      Lafadz yang di-Takwil harus benar-benar memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnya tidak bisa di-Takwil. Namun menurut Hanafiyah, Takwil itu boleh sekalipun pada Nash yang Zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan Syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum Syari’at adalah sumber Takwil, karena banyak Nash yang yang arti Zahir-Nya mengandung makna Juz’i.
§      Takwil harus brdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan Takwil
Contoh Takwil dari Nash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara Zahir Nash yang mengandung arti Juz’i dengan dasar umum syari’at, adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya” 
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya bertentangan dengan dasar umum syari’at yang ada dalam al-Qur’an.
Sebagian Mujtahid mentakwil hadits tersebut, kemudian mereka menaqyid dengan jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah di Taqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua Nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang dianggap terbaik dari pada mencela salah satunya.
Dengan contoh di atas, dapat diketahui bahwa Takwil itu ada karena adanya pertentangan dalam Nash yang artinya Zahir. Takwil dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian:
a.       Takwil Berdasarkan Dalil adalah Maslahat
Yang dimaksud maslahat di sini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu harus Nash tertentu, tetapi dalil yang mentakhsis dalil umum. Takhsis merupakan salah satu bagian dari Takwil , bahkan yang paling banyak dipakai.
 Contoh firman Allah SWT yang artinya:
    “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh…”
Dari Zahir ayat tersebutdapat dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu, dan kata al-walidatu itu lafazh-nya umum yang mencakup setiap ibu.
Imam Malik menakhsis keumumannya dengan perbuatan adat (Urf amaly). Dia berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya, maka bila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemadharatan. Dan menjaga kemaslahatan adalah maslahat.
Pengubahan arti yang dilakukan Imam Malik terhadap lafazh al-walidatu dari artinya yang zahir membawa lafazh umum kepada yang khusus dengan menggunakan dalil Urf amaly, sehinnga yang tadinya umum menjadi khusus. Dia menolak bahwa perempuan yang sakit wajib menyusui anaknya. Maka arti ayat menjadi:
“Dan ibu-ibu yang tidak sakit untuk menyusui anak-anak mereka sesuai kebiasaan adat, maka mereka menyusui anak-anak mereka.”
Takhsis pada permasalahan  seperti itu bukunlah kemaslahatan dengan zatnya, tetapi dengan dalil-dalil yang berasal dari dasar-dasar umum syari’at.
Dalam hal ini kemadharatan yang betul-betul berat harus dijaga dengan cara menghalangi penyebabnya. Dan bergantung pada keumuman hadits. Jika menggunakan Takhsis dengan dalil kemaslahatan, maka selesailah pertentangan antara masalah Juz’i dengan dasar umum syari’at.
b.      Mentakhsis Keadaan Umum dengan Kemaslahatan
Yang dimaksud keadaan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang berdasarkan  firman Allah dalam al-Qur’an yang Artinya:
“Dia-lah yang telah menjadikan untuk kamu semua apa-apa yang ada di bumi.” (al-Baqarah : 29)       
Diantara kemerdekaan umum adalah kemerdekaan berjual beli dan hak memiliki terhadap barang. Kemerdekaan memiliki terhadap barang adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia, dengan mengutamakan persamaan, karena hal itu termasuk perbuatan yang dibolehkan.
         Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW. Mengkhususkan kemerdekaan umum tersebut dalam mua’malah. Hal ini juga dikuatkan dengan firman Allah SWT yang artinya:
“Kecuali kamu semua melakukan jual beli diantara kamu berdasarkan kerelaan dari kamu semua.” (QS. An-Nisa’:29)
Takhsis seperti itu adalah berdasarkan kemaslahatan umum, begitu pula larangan jual beli gharar dan jual beli yang mengandung riba, karena di dalamnya terdapat pengikisan keadilan dan terdapat unsure memakan harta manusia secara bathil, yakni kaidah yang menghilangkan keridhaan. 

§      Lafadz Mencakup Arti yang Dihasilkan Melalui Takwil Menurut Bahasa
Penakwilan menurut bahasa dilakukan secara tekstual, kontekstual atau majaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenalatau adat syara’.
Adat syara’ telah banyak menakhsis dalil-dalil umum pada sebagian besar nash, sehingga para ulama’ Ushuliyyin berkata, “Tidak ada sesuatau yang umum, kecuaali telah ditakhsis.” Hal itu menunjukkan bahwa adat syara’ telah banyak menakhsis sebagian besar dalil yang umum, sehingga takhsis tersebut menjadi sunnah dalam syari’at. Hal itu cukup menunjukkan bahwa bagian ini sah menjadi bagian takwil.
§      Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang Qath’i, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’yang umum
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dengan mengubah arti yang zhahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang Qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
§      Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil
Pertentangan antara zahir dengan nash tidaklah diragukan lagi bahwa nash itu menkhsis yang zahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas.
Penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at merupakan roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokoknya. Disini dapat dilihat bahwasannya disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat dari pada zahir lafazh-nya. Begitu pula pertentangan-pertentangan arti yang diambil dari nash melalui metode pengambilan dalil. Dalam hal ini terdapat beberapa metode untuk menunjukkan nash pada artinya, yaitu:
§  Arti yang didapat melalui metode ibarah nash, adalah yang terkuat dari segi hujjah
§  Arti yang didapat melalui metode isyarah nash
§  Arti yang didapat melalui metode maksudnya (fahwu). Dikalangan Ulama’ Ushul lebih dikenal dengan istilah dilalah nash
§  Arti yang didapat melalui metode iqtidha yaitu arti mewajibkan untuk memperkirakannya dalam ucapan supaya artinya sah menurut syara’.
Apabila terjadi pertentangan diantara ke empat pernyataan di atas, ibarat nash harus didahulukan dari isyarat nash. Keduanya didahulukan dari metode maksudnya (fahwu) dan kemudian yang terakhir adalah metode muqtadha.
Sebagian acuan dalam menentukan kekuatannya adalah sejauh mana kejelasan maksud syara’dalam setiap dalilnya.
Terkadang takwil tidak membutuhkan dalil sebagaiman telah dijelaskan tadi, tetapi dimungkinkan berdasarkan pada oemahaman yang dangkal, akal, dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama’ Ushul dengan istilah takwil qarib yang cukup memakai dalil yang terendah.
Misalnya firman Allah SWT yang artinya:
“ …apabila kanu hedak mengerjakan shalat, basuhlah mukamudan tanganmu sampai siku…” (QS.Al- Maidah: 6)

Arti zhahir dari ayat tadi adalah mengharuskan berwudhu setelah melaksanakan shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan berwudhu terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik menurut akala ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, Lafazh al-qiyamu dalam firman Allah ta’ala di atas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang hakiki kepada artinya yang majazi yaitu al-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya.

Macam-macam takwil
Macam-macam takwil ini menurut wahbah al zuhaili dibagi menjadi dua:
1. Takwil yang jauh dari kepahaman yaitu lafaz yang tidak cukup dengan penetapan dalil secara sederhana. Contoh:
 “….Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin….”
Menurut golongan hanafiah bahwa sepuluh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ukuran wajib mngeluarkan makanan untuk kafaratnya.
 Sehingga boleh jadi apabila terdesak dalam mengeluarkannya kita boleh memberikan makanan satu orang miskin dengan sepuluh makanan.
2.      Takwil yang dekat dari pemahamannya, yaitu lafaz yang cukup dengan penetapan dalil secara sederhana. Contoh: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu …..”
Makna qama (berdiri) di atas adalah merupakan takwil yang dipalingkan dari kejelasan lafaznya. Sedang yang dimaksudkan adalah mengerjakan shalat serta telah masuk kepada waktunya.[2]
B.     Takwil dengan Hermeneutika
Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat.
Dari sisi etimologis padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.
Namun, perlu diketahui bahwa makalah ini mencoba untuk menerangkan bahwa takwil sebagai penafsiran teks-teks al Qur’an dapat dilakukan melalui metode yang berupa hermeneutika. Secara singkatnya takwil adalah tafsirannya, dan hermeneutika adalah cara atau metode untuk menafsirkannya. Sehingga persepsi inilah yang harus difahami dulu untuk selanjutnya tidak terjadi perdebatan dalam tulisan-tulisan makalah yang selanjutnya.
C.    Ta'wil Sebagai Penafsiran Al- Qur'an
                   
                   Interpretasi  metaforis  atau  ta'wil,  ialah  pemahaman  atau pemberian    pengertian atas fakta-fakta   tekstual   dari sumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah) sedemikian  rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber suci itu, tapi pada  "makna  dalam"  (bathin, inward meaning) yang dikandungnya. 
                   Metode pemahaman serupa itu (ta'wil) telah muncul sejak masa-masa dini sejarah Islam (jika tidak  malah  sejak masa Rasul Allah saw. sendiri, sebagaimana dikatakan  kalangan  Islam  tertentu).  Karena  itu  persoalan interpretasi  metaforis  ini mempunyai saham cukup besar dalam timbulnya perselisihan, kemudian perpecahan, di kalangan  kaum Muslim.  Maka  salah  satu manfaat yang menjadi tujuan tulisan ini ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang  bibit-bibit perselisihan  paham  dalam  Islam,  serta bagaimana seharusnya kita menempatkan diri dalam  kancah  perselisihan  itu  secara adil. Sikap  dapat  memahami persoalan berkenaan dengan perselisihan paham di kalangan umat itu semakin dirasa mendesak akhir-akhir ini. 
                    Dalam  abad  telekomunikasi mondial yang serba cepat dan luas,  setiap  pribadi  orang  modern  mengalami bombardemen informasi  yang  seringkali  menyangkut segi-segi kesadarannya yang  mendalam.  Dari  sekian  banyak  informasi  itu,   untuk kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umat. Islam sendiri di seluruh  dunia,  termasuk  informasi  tentang adanya  berbagai  kelompok  dan aliran pemikiran yang beraneka ragam  Terlintas  dalam  pikiran,  misalnya  kesadaran  hamper tiba-tiba kaum Muslim Indonesi tentang adanya golongan Syi'ah dan berbagai alirannya, antara lain karena revolusi mereka  di Iran  1979. 
                    Lepas  dari  masalah  revolusi  itu sendiri (yang agaknya lebih baik dilihat  sebagai  gejala  politik,  seperti halnya  dengan  revolusi-revolusi lain), kejadian di Iran pada penghujung dasawarsa lalu  itu  dalam  suatu  sentakan,  telah melahirkan  sejenis  kesadaran  baru  di  kalangan  umat Islam dunia, yaitu kesadaran tentang pluralitas  Islam  dan  potensi yang ada di balik setiap golongan.
                    Maka  dengan  menengok masalah ta'wil ini, kita berharap dapat menempatkan diri lebih baik alam  memandang  berbagai  aliran dan  madzhab  di  kalangan  umat sendiri, untuk kemudian sikap yang  sama  itu  sedapat  mungkin  kita  bawa  pada  persoalan masyarakat secara seseluruhan.
 
D.    Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat 
 
                   Salah  satu  pokok  perselisihan  di  kalangan umat Islam yang terkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya  ayat-ayat suci al-Qur'an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan yang "bermakna samar atau tidak pasti"  (mutasyabihat,  yakni, yang  interpretable).
                     Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut: Dia (Tuhan) yang telah  menurunkan  kepada  engkau  (Muhammad) Kitab  Suci,  yang didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat  lain yang  mutasyabihat. 
                    Ada  pun  orang-orang  yang dalam hatinya terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian  yang tersamar  (mutasyabihat)  daripadanya,  dengan  tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian  tersamar itu.   Padahal  tidak  mengetahui  ta'wil-nya  kecuali  Allah. Sedangkan  orang-orang  yang  mendalam   ilmunya   maka   akan menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung  (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam.[3] 
                   Masalah   muhkamat   dan   mutasyabihat  itu  setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis  perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan pandangan  tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka  ada ayat-ayat  suci  yang  bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat, namun  bagi  kelompok  lain  bersifat  mutasyabihat. 
                   Firman-firman  berkenaan  dengan  surga  dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan  kaum  Muslim  bersifat  muhkamat,  tapi  bagi sebagian   mereka,   seperti  golongan  al-Bathiniyyun  ("Kaum Kebatinan" - lihat pembahasan di bawah), bersifat mutasyabihat sehingga  pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai  metafor-metafor  atau  kias-kias,  yang   tak   mesti menunjuk pada hakikatnya. Kedua,   perbedaan   pandangan  tentang  boleh  atau  tidaknya melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang  mutasyabihat    itu. Sebagian   kelompok   Islam   membolehkannya,  sehingga  dalam memahami   ayat-ayat   mutasyabihat   itu,   harus   dilakukan interpretasi  di  balik  ungkapan-ungkapan  lahiriah. Sebagian lagi yang tidak  membolehkannya,  berpendapat  dalam  memahami ayat-ayat  itu  kita  harus  berhenti pada makna-makna seperti yang  dibawakan  ungkapan lahiriah  lafal   dan   kalimatnya. 
                   Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab: ism  musytarak,  kata-kata  berserikat),   seperti   kata-kata "mendengar,"   "mengetahui,"  "melihat,',  "tangan",  "marah," "senang"' dan  lain-lain  yang  dalam  Kitab  Suci  disebutkan sebagai  sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia. Maka   pelukisan  itu  mengesankan  bahwa  Tuhan  dan  manusia "berserikat" dalam beberapa sifat  dan  kelengkapan,  dan  ini menimbulkan   problema.  
                   Mereka  yang  melakukan  interpretasi (karena   beranggapan   bahwa    Tuhan    mustahil    memiliki kualitas-kualitas  yang  sama  dengan  manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka,  sedangkan  kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian  lahir  firman-firman  itu.   Mereka   yang   tidak membenarkan   interpretasi   akan  melihat  firman-firman  itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan  memiliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."  
                   Ketiga,  bagi  mereka  yang  membolehkan  interpretasi,  masih terdapat  perselisihan  tentang  siapa  yang  harus  melakukan interpretasi  itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak  untuk  melakukannya harus  dibatasi  hanya  pada  lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir  yang mendalam.   Ini   membawa   konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada  kelompok-kelompok  khusus  (khawas, al-khawash)  dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang pertama adalah  "kaum  ahli," dan  yang  kedua  terdiri  dari "orang-orang kebanyakan." 
 
E.     Pandangan Para Filsuf 
                   Seperti  dapat diduga, para filsuf adalah kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya pengakuan   sebagai   para   pencari   hakikat  dan  kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak  terbantah).  Mereka dengan  kuat  memandang, ungkapan-ungkapan  kebahasaan  dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah  ungkapan-ungkapan  metaforis atau alegoris. Jadi tidak dimaksudkan  seperti  apa   adanya   menurut   arti   lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan  disiplin  dan  latihan berpikir  yang  tinggi,  yang  menurut  mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan.  
                   Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat adalah  kecintaan  kepada  kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai penganut kearifan"  (ahl  al-hikmah)  atau  para  orang  arif-bijaksana (al-hukama).  Kadang-kadang  juga  disebut ahl al-burhan ("para penganut  kebenaran  demonstratif   atau   apodeiktik,   yakni kebenaran tak terbantah").  
                   Kelebihan   mereka  itu,  mereka  adalah  golongan  khawas  di kalangan umat, dan mereka berhak,  bahkan  wajib,  menggunakan metode  interpretasi  metaforis  terhadap teks-teks keagamaan. Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin: Averroes),   misalnya  berpandangan  para  filsuf  selaku  ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi  (dikutip di  atas)  sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil  terhadap  bunyi teks-teks  suci.  Jadi  bagi  Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang mendalam  ilmunya"  termasuk  ke  dalam yang mengetahui ta'wil ayat-ayat  mutasyabihat.  Yaitu  dengan  memindah  tanda  baca berhenti   (waqaf:)   sehingga  terbaca,  "...  Padahal  tidak mengetahui  ta'wilnya  kecuali  Allah  dan  orang-orang   yang mendalam  ilmunya.  Mereka  ini  berkata, "Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya  dari  sisi  Tuhan  kami..."  sebagai ganti  cara  baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas.[4] 
                    Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu  dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan  makna-makna  lahir  ungkapan-ungkapan  itu, melainkan  pada  makna  batinnya. Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah  melakukan  sejenis  kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa  memaksudkan makna   lahiriah ungkapan itu. Tapi "kebohongan" Nabi bukanlah   kejahatan,  karena  bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum   awam,  agar mereka  berbuat  baik  dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain,  para  filsuf   menganut  teori  Nabi   telah   melakukan "kebohongan   untuk   kebaikan"  (al-kidzb  li  al-mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah. Karena "pendidikan" itu ditujukan pada  kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam  dalam memahami  ajaran  agama.
                    Para  flsuf  harus  melakukan ta'wil terhadap  bunyi-bunyi  teks  suci  baik  Kitab  maupun  Sunnah (Hadits),  sedangkan  orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna  lahiriah  lafalnya  itu. Para   filsuf   akan   menjadi   kafir  jika  tidak  melakukan interpretasi (karena bagi mereka ajaran- jaran agama  tertentu seperti  surga  dan  neraka  dalam  pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak). 
                   Dan sebaliknya, orang  awam  akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak  terjangkau kemampuan  akal  mereka.  Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran, baik  dari  pihak  khawas  maupun  awam),   maka   Ibn   Rusyd berpendapat,  ta'wil  harus  disimpan  dan  dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas  saja.[5]  Sehingga  sering  dikatakan, metode  Ibn  Rusyd  yang membagi manusia  dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam  kehidupan beragama.
                   Seorang   sarjana   Muslim  modern  penafsir  al-Qur'an, Muhammad Asad, berpegang pada pandangan dalam masalah  ta'wil.  Asad berpendapat bahwa al-Qur'an memang mengandung ayat-ayat yang pasti maknanya  tanpa  samar,  namun kebanyakan   justru   firman-firman  yang  metaforis.  Menurut sarjana ini, sifat alegoris atau     metaforis keterangan-keterangan  dalam  Kitab  Suci  itu tak dapat tidak harus digunakan sebagai metodologi  penyampaian  pesan,  sebab manusia  tidak  akan  dapat  memahami  sesuatu yang samasekali abstrak, yang tidak ada asosiasinya dengan apa yang sudah  ada dalam alam pikirannya.
                   Namun manusia, dalam usahanya memahami keterangan-keterangan suci  itu,  tak dibenarkan  menganggap perolehannya  sebagai  mutlak  dan  final,  sebab  "tidak  ada kesalahan   yang   lebih   besar   daripada   berpikir   bahwa "terjemahan-terjemahan" (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa manusia) itu dapat memberi  definisi  pada  sesuatu  yang  tak mungkin didefinisikan."[6] 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
BAB III
PENUTUP
 
Kesimpulan
Takwil adalah Gagasan dan usaha untuk menggali, meneliti, dan mengembangkan teori sastra yang pernah dan sedang tumbuh dalam tradisi intelektual Islam, patut disambut dengan gembira sebab sangat tepat pada waktunya. Sedangkan hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Keduanya merupakan suatu hal yang berbeda namun sangat tipis perbedaannya. Namun melalui kedua hal tersebut penafsiran dilakukan.
Telah   dikatakan,   bahwa   tujuan  kita  membahas  persoalan interpretasi metaforis ini antara lain ialah untuk mendapatkan kesadaran  tentang  suatu  dimensi  pemahaman  keagamaan dalam  Islam yang ikut memberi corak keanekaragaman  kaum  Muslim  didunia. Dari  uraian  di atas diharapkan ada sedikit kejelasan bahwa masing-masing kelompok atau aliran dalam Islam  memiliki reasoning  mereka sendiri dalam memilih suatu pemahaman agama.
 Sebagian dari reasoning itu tentu saja,  bersumber  pada  atau bersifat  murni keagamaan. Tapi juga tidak sedikit daripadanya yang  semata-mata  merupakan  hasil  interaksi  antara  sesama orang-orang  Muslim  sendiri  atau  antara  orang-orang Muslim dengan non-Muslim dalam  sejarah. Dan  sementara  kita  melihat orang lain demikian, pada waktu yang sama kita harus menyadari bahwa  orang  lain  pun  melihat  kita  demikian.  Dari  sudut pandangan  inilah  absurd-nya  pengakuan  diri sendiri sebagai yang  paling  benar,  meskipun  dari  sudut  pandangan   lain, keyakinan,  misalnya.


 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
 
Terjemahan Al Qur;an Al Karim. Depag RI. Tahun 1995 
 Syafi’I, Rahmat. 1998, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia
A.Hanafi. 1963, Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya
Ibn Rusyd, Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang,1984, h. 217).
Romli. 1998, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama
Al-Zuhaili, Wahbah. 1996, Ushul Fiqh Islami, Damaskus: Daar Al-Fikr
Khalaf, Abdul Wahab. 1972, Ushul Al-Fiqh. Kairo: Maktabah Da’wah Islamiyah. Cet III
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, appendix 1, h.991 



[1] Prof. DR. Rahmat Syafi’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hal. 196
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami. Damaskus: Daar Fiqr. 1996. hal. 316
[3] QS. 'All 'Imran 3:7.
[4] Ibn Rusyd, buku Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang,1984, h. 217).
 
[5] Ibn Rusyd, (dalam Khazanah), op. cit., hh. 230-1
[6] Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, appendix 1, h.991.