search here and find more articles

Rabu, 17 Februari 2010

Kisah Katak Dua Belas Kaki

Berlindung dari embun di bawah telepon umum. Sedikit bernyanyi, satu dua kalimat, senam vocal. Seluruhnya siap, beberapa menit lagi kawanan lain datang. Bergerilya bersama dengan bekal  12 lagu yang sama sampai petang. Di bus kota, antar kota ekonomi dan tempat receh berada.
Mereka tak pernah punya jam, jadwalpun sesalu menyesuaikan. Yang awal datang menunggu di telepon umum tiap pagi. Jika tertinggal, maka nanti siang pasti bertemu di terminal. Satu gitaris, penabuh kendang dari pralon besar dan vocal merangkap pemain koin gemerincing. Rokok sebatang bertiga adalah sarapan pagi tak tergantikan untuk beberapa tahun terakhir.



-->
Samsul, putra Kalimantan merantau ke Surabaya 5 tahun lalu. Klontang-klantung karena uang hasil kerjanya sebagai  kuli bangunan dicopet dipelabuhan. Tak bisa mudik ke Kalimantan. Tak ada kerabat kecuali trotoar. Tak akan pulang sebelum punya uang untuk membeli motor. Prinsipnya, ikhlas bagi anda, halal bagi kami.
Bugel, pendiam yang merupakan fans berat Dream Teater dan White Lion. Menjadi gitaris jalanan sejak tak ada lagi toleransi dirumahnya di Semarang. Keinginannya masuk ISI Jogja ditentang keras orang tua, melarikan diri. Itu saja yang selama ini terkuak.
Gaple, satu-satunya pengamen tulen. Hafal hampir seluruh daerah dan gang di Surabaya Selatan dan Timur. Memutuskan diri untuk berpindah ke jalanan dibanding  berdiri di gerbang rumah ke rumah. Naik bus, dan tak begitu capek berjalan itu saja alasannya. Suaranya tak pernah down mulai pagi sampai petang. Darahnya hijau, bonek sejati, Persebaya sampai mati.
Curriculum vitae sederhana dari mereka yang begitu luar biasa. Manusia dua puluh tahunan yang tampak lebih tua 7 tahun dari usianya. Tak tahu seperti apa akhir dari ini semua, asalkan petang mereka masih menyisakan dana, kos-kosan pasti terbayar. Balita Gaple pun bisa makan jelli murahan rasa strowberri. Mereka tak biasa membaca do’a, tapi selalu membatin nama Tuhan pagi dan petang, dimana semuanya akan diserahkan pada Nya.
***
Pagi ini telepon umum tidak berembun, tapi tergenang air. Gerimis bermain, menggoda katak-katak keluar dari  terowongan.  Samsul tak datang, gendang pralonnya diserahkan pagi-pagi sekali kerumah Gaple.
“Kos-kosan banjir mulai kemarin sore. Mau ku kuras  dulu, menyelamatkan sedikit hartaku. Nanti siang aku berangkat ”
Gaple mengangguk, samsul tersenyum. Mata mereka sempat menatap kedalam kos, lantai tanah kos-nya  juga tergenang air, semata kaki istri Gaple yang kebetulan berdiri menggendong si kecil dibelakang.  Samsul melambaikan tangan pada si Kecil sebelum berlalu.
Tak ada barang yang berharga kecuali almari kecil berisi baju-baju si kecil. Gaple berunding dengan istrinya untuk sedikit membenahi barang-barang  sebelum istrinya mengamen di lampu merah.
“Biarlah, nanti juga mengendap sendiri. Percuma, mau dikuras bagaimanapun juga. Memang lagi musim hujan.”
“Iya mas…”
Batinnya meyakinkan untuk tetap berangkat kejalan.
Dua katak bersaudara berangkat, menghadang DAMRI, naik berteduh sekaligus bernyanyi. Mengumpulkan receh, berterimakasih. Menjelang siang hujan semakin deras, sebagian besar jalan tergenang air coklat. Celana levis mereka basah, semakin keras tabuhan, semakin menjerit saja Gaple bersenandung. Penghasilan menurun, penumpang sibuk menghujat hujan. Sopir semakin tak aturan kebut-kebutan.
Panas kepala mereka, sangat diacuhkan. Ditambah fikiran tak adanya banyak receh yang terkumpul. Begitulah Surabaya, semua serba panas apapun musimnya. Kemarau begitu terik, musim hujan banjir dimana-mana. Semua orang sibuk, etos kerja tinggi, makian tak terhenti. Keadaan memaksa dua katak itu cepat-cepat bersenandung. Agar lebih banyak bus, dan  mengejar setoran yang bisa normal.
Katak-katak itu melompat naik turun dari satu muara receh ke muara lain. Begitu cepat, sedikit bersenandung, membuka kantong dan turun.
***
Sementara di tempat yang disebut kos-kosan. Katak betina beranak yang dipinang Gaple susah payah menghadapi keadaan. Balita mereka demam, dia terpaksa pulang cepat mengemis dari lampu merah. Balitanya hanya sarapan biscuit 2 keping, pancaroba dan langit yang hujan terus menerus membuat balita mereka sakit.
Sampai dikos, tak ada tempat kering untung membaringkan balita kecil itu, lantai basah dan ranjang tipis itu lembab. Sang induk menggendongnya ke kos Samsul, 2 gang dari kos-kosannya. Berharap samsul belum berangkat kerja, dia akan memakai tempatnya merawat anaknya sementara samsul kerja. Sekaligus, meminta Samsul  menyampaikan pada suaminya, Gaple, agar cepat pulang. Buah hari mereka sakit. 
Tepat saat Istri Gaple di depan kos Samsul hujan tiba-tiba lebat. Dia menyeruak masuk karena takut anaknya kehujanan. Samsul yang baru duduk dikursi tua kaget, dia hanya memakai celana dalam karena pakaian yang lainnya di benahi agar tidak kotor semua saat menguras kos-kosan sejak tadi pagi.
Belum sempat Samsul bicara, istri Gaple menaruh anaknya diranjang Samsul.
“Anakkku panas, aku titip dia disini.”
Samsul mengangguk, dia segera memakai celana, sekaligus menyambar sarung untuk si kecil. Hujan semakin lebat, mau lari ke toko terdekatpun tak mungkin, tak ada uang  sisa bayar kos kemarin. Hanya ada sebatang rokok. Apalagi, toko bu Hajah itu terkenal pelit. Siapapun tak boleh utang, apalagi pengamen.
Samsul memanaskan air, hanya itu yang bisa dilakukan. Balita Gaple semakin tinggi demamnya, wajahnya merah padam. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mencoba menenangkan tangis si kecil dengan memberikan ASI yang sudah tak keluar lagi. Mereka  menunggu, entah apa yang akan datang.   
***

Dinginnya hujan terasa panas bagi Gaple dan Bogel, suasana tak memungkinkan lagi untuk mengamen. Bus-bus banyak yang tak mau berhenti sejenak, ada yang berhenti tapi sudah ada katak lain yang bersenandung didalamnya. Kode etik pengamen, tak boleh mengamen di bus yang senang ada pengamen lain. Gaple begitu gusar, dari tadi memaki keadaan, tangan kanannya menengadah kemuka. Air yang diterima.
Bogel duduk menghitung receh, menyulut rokok lalu memberikan rokoknya bergantian dengan Gaple. Gaple menghisapnya dalam-dalam, menghangatkan organ dalam tubuh dan otaknya yang dibayang-bayangi wajah lapar si Kecil.
“Ayo pulang saja, kita cari bus ke utara”
Bogel mengangguk. Hujan semakin deras.
***
Di Kos-kosan Samsul, si Kecil sudah lelap diselimuti sarung. Istri Gaple kacau sekali nya, Samsul menenangkan, memegang pundak dan menyuruhnya duduk dikursi disisi ranjang. Memberikan air putih hangat dan menyulut sebatang rokok untuk dihisap mereka berdua. Penghangat tubuh.  
Niat istri Gaple untuk meminta Samsul menyusul suaminya diurungkan. Dia tahu keadaan tak memungkinkan, hujan diluar deras sekali. Sulit mencari dimana tepatnya sekarang suaminya berteduh. Toh, si Kecil sudah mendingan dan ada Samsul yang akan membantu semuanya.
Samsul dan Istri Gaple berhadapan.
“Istirahatlah, temani anakmu tidur.”
Istri samsul mengangguk, mereka berdua berdiri bersamaan hampir menubruk. Istri Gaple memegang dada telanjang Samsul dan Samsul  menyeimbangkan kedua pundak Istri Gaple agar tidak rubuh. Mata mereka saling menatap, lama sekali, istri Gaple sedikit mendongak menatap  wajah Samsul, begitupun Samsul menatap rendah kearah wajah Istri Gaple.
Wajah mereka saling mendekat, nafas mereka saling tiup. Muncul kehangatan dari pagutan bibir yang tiba-tiba beradu tanpa pandu. Sisa aroma rokok dibibir mereka menciptakan paduan manis dan harum nafsu birahi.
Rokok ditangan Istri Gaple jatuh, mati ditanah basah. Tangannya beralih ke punggung belakang Samsul yang setengah telanjang. Samsul pun tak lagi menahan bahu Istri Gaple, tangannnya menuju tempat yang sedari tadi lupa dikancingkan setelah menyusui.
Hujan semakin deras, dua katak itu menghangatkan diri disudut ruangan. Cara mereka menghangatkan diri sungguh patut disebut katak, berdiri, saling bersenandung lirih, merintih, dan berganti-ganti tempat tanpa sedikitpun terpisah tubuh keduanya.
***
Gaple dan Bogel hampir selesai menyanyikan lagu terkahir mereka hari ini. Nasihat pengemis untuk Istri, Ebiet G Ade menjadi lagu pamungkas bersama bis yang melaju keutara.
Keduanya turun didepan pintu rel kereta, menitipkan gitar dan kendang pralon dipos jaga. Terus menembus hujan, mencari jalan berputar, agar tidak begitu basah. Tujuan Gaple adalah rumah, sejak tadi dia khawatir dengan 2 permatanya. Bogel menuju kerumah Samsul, berteduh disana saja lebih aman daripada harus pulang karena kosnya jauh. Lagipula, dia bisa mengabari Samsul penghasilan mereka konser setengah hari ini.
            Sama seperti Gaple, Bogel menyeruak masuk kos. Matanya melotot melihat dua katak dikursi, si betina dipangku si jantan, saling berhadapan dan telanjang. Sedang di sisi kiri, balita kecil lelap diiringi irama hujan.
            Kedua katak besar salah tingkah.
“Aku tidak akan menceritakannya pada Gaple akan hal ini, asalkan aku bisa ikut pesta ini.”
            Samsul menatap Istri gaple, lama sekali dia diam menatap tanah, lalu mengangguk kearah Bogel. Bogel menyeringai, mendekat dengan senyum kemenangan telak.
***
Gaple tak menemukan siapapun kecuali senyap dikos. Dia menembus hujan, menuju lampu merah berharap istrinya disekitar sana, berteduh dengan putrinya di emperan toko. Dia berlari, memasuki gang dan berbelok ke rumah Samsul. Gaple harus menemui Bogel dulu, karena uang hasil mengamennya lupa di minta karena buu-buru.
            Untuk ketiga kalinya, tamu datang menyeruak masuk kerumah Samsul tanpa permisi. Tak akan ada yang marah, toh mereka sudah seperti saudara kandung sendiri. Pintu terkuak, tiga katak sedang beradu cepat menuju puncak hasrat. Beberapa detik Gaple mengamati pemandangan itu, dingin ditelapak kakinya menjalar ketas kepala menjadi larva. Mereka bertiga lena atau memang tak mampu menghentikan pentas jalang yang sudah setengah jalan. Sama-sama sedang menuju fokus, sangat nanggung untuk berhenti.
            Ketiganya menjerit, lalu ambruk saling menopang. Gaple hanya diam, larva nya mengembun, diraih permatanya yang merengek, mendekapnya dalam dada dan lari begitu saja. Tanpa memandang ketiga katak disudut ruang.
            Langkah Gaple begitu jenjang menembus hujan, hanya suara rengekan permatanya yang dia dengar. Suara hati, hujan, air got dan katak yang mengejarnya dengan jerit  sama sekali tak terdengar.
            Entah kemana dia akan berhenti berlari, yang jelas hujan belum juga berhenti mengiri katak-katak bernyanyi lagu sedih.
Abimanyu
Surabaya, 13 Februari 2010