Terlepas dari peran Tuhan yang menganugrahi kehidupan, manusia hidup karena didasari atas kemauan. Kemauan untuk melanjutkan kehidupan.
Tidak semua orang memahami arti dan fungsi dari sebuah hidup. Apakah hidup hanya senggang waktu untuk menunggu kematian? Apakah hidup adalah sebuah kepasrahan untuk mengikuti alur takdir Tuhan? Ataukah hidup semata-mata sebuah pelarian untuk selalu menjadi yang terdepan, terkenal dan pemenang?
Semestinya dalam hidup pun kita harus meyakinkan diri, bahwa apapun yang diberikan Tuhan, itu yang terbaik bagi kita. Meskipun dalam hati, hal itu bukanlah yang kita senangi dan harapkan. Disinilah peran campur tangan Tuhan begitu dominan. Sehingga jangan sampai terjadi, dimana satu masa kita mencoba untuk mengkambing hitamkan Tuhan, atas hal buruk yang menimpa kita. Karena hakikatnya, semua terancang tepat dan ada hikmah dibalik perkara.
Satu ketika, berawal dari sedikit pengetahuan tentang konsep wahdatul wujud yang diprakarsai oleh Al Hallaj dan Ibnu Arabi. Muncul sebuah pemikiran nakal dalam otak.
Jika benar wahdatul wujud itu ada, maka manusia adalah tuhan (pecahan-Nya). Tuhan berhak untuk otoriter, kenapa aku tidak? Tuhan berhak murka, maka akupun ingin seperti itu setidaknya. Tuhan berbeda dengan makhluk-Nya, Tuhan diskriminatif –kah?
Banayak karib, saudara dan sekedar kenalan aku tanyai berkaitan hal ini. Entah secara face to face sampai via email dan sms. Belum ada jawaban yang memuaskan, semua cenderung takut dan lebih memberikan advice untuk beristighfar. Dua bulan terombang-ambing akhirnya lahir jawaban yang mencengangkan dari seorang karib dari UII Jogja.
Wahdatul wujud akeh bukune.
Tuhan diskriminatif?
Njur pengenmu piye?
Sing Tuhan itu manusia, opo Tuhan?
Yang punya hak itu manusia opo Tuhan?
Urip wae syukur.
Pertanyaan terjawab secara logis dan rasional. Jawabannya ternyata hanya dengan memutar balikkan kalimat. Tapi ada satu pesan moral dikalimat terakhir yang menyentakku, -urip wae syukur-. Seolah setelah hidup hampir 20 tahun baru tersadar bahwa bukan hanya langit dan bumi yang dimiliki Tuhan, tapi kesempatan untuk menikmati hidup normal adalah sekedar titipan.
***
Flash back ke bulan Juli lalu. Sempat aku menulis catatan perjalanan yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Di WC umum terminal Purabaya, aku mencoba renungi kehidupan manusia. Mungkin bukan tempat yang tepat untuk merenung, bukan di ruang belajar, tidak dalam masjid, bahkan tidak dalam sebuah tempat yang pantas disebut ruangan.Ini sekedar renungan, bukan kontemplasi atau konsiderasi. Tidak wilayahku memakai bahasa ilmuan seperti itu.
Sebelumnya, sore tadi sesaat setelah sholat asar di masjid Ulil Absar nuansa paradoks dunia begitu kental. Tampak tak jauh dari dipintu gerbang sebuah universitas -institut tepatnya- Islam terbesar di Surabaya, yang terletak di jalan Ahmad Yani, seorang Kakek sepuh. Bukannya dia sedang iseng, tapi sedang menengadahkan kedua tangan, persis dengan posisi orang berdoa, matanya memandang lurus ke muka. Dia seorang pengemis.
Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka yang keluar masuk gerbang universitas mengasihaninya? Mereka yang duduk di jok motor dan kursi mobil ber-AC, kaum rohanian, bahkan yang berjalan megal-megol dengan menenteng berbagai macam buku referensi ilmu barat dan timur, pernah mengira bahwa kakek itu sedang berjuang? Sampai-sampai si Kakek sepuh itu mengemis dengan mengandalkan tangannya. Bukan memakai gelas air mineral, tidak juga mangkok seperti kebanyakan pengemis lainnya. Si Sepuh berjuang hidup, dengan cara memohon pada manusia, serta Tuhan yang kabarnya ada diatas sana.
Jangan-jangan ini indikasi mereka sudah master pemahaman hukum agamanya? Ikut setuju untuk menghakimi bahwa mengemis itu haram hukumnya. Jadi tidak perlu repot-repot mempedulikan pengemis. Kalau saja pengemis diberi hak mengemukakan pendapat, diberi kesempatan menjawab, pasti keluar pertanyaan; Lebih haram mana antara mengemis dan tidak menjalankan amanat mengurusi fakir miskin dan anak-anak terlantar? UUD itu karangan bebas atau memang aturan? Kalau UUD berjalan, zakat, bantuan dan sumbangan-sumbangan sampai tujuan, tak perlu lagi ada kaum pengemis dinegeri ini..
Apa mau dikata? Rasanya memang beginilah gambaran kapitalisme yang lahir dari dunia akademisi agamis metropolis. Seolah dosen terlalu terpaku teori, memprioritaskan gaji, bersama mahasiswa nya sumringah dengan gaya hedonis semi melankonis. Sampai-sampai kepekaan sosialitas terkikis, dan menjadi homo homini lupus.
Beginilah perihnya kehidupan urban, siapa yang harus dibela melihat fenomena seperti diatas? Padahal berapa kali setahun kita lihat banyak kalangan gembor-gembor diseminar, berdiskusi dengan para ahli mencari solusi. Pakar ini, disandingkan dengan ahli itu, dimintai opini. Tapi opini hanya sampai tahap teori, katanya ikut berempati, tapi masih saja seperti ini kondisi. Ketika solusi hanya sampai tahap teori, aplikasi hanya jadi ilusi.
Bagiku semua tak ada yang benar dan salah, karena aku hanya faham teori relativitas, dari mana kita melihatnya. Sedikit menegaskan, begitulah cara-cara manusia memperjuangkan hidup. Ada yang jadi ahli, kaum tengah, ada yang fakir miskin, dan kaum marginal lainnya. Setiap manusia dikapling berdasar profesi, belum sempat terfikir untuk menjadikan satu kesatuan atas nama kemanusiaan. Agama yang harusnya berperan untuk itu, sekarang jadi mainan dan bahan olok-olokan.
***
Malam datang, perjalanku terhenti disalah satu kampus ternama lagi, Universitas Negeri Surabaya, daerah Ketintang tepatnya. Selama tujuh jam aku disana, tak banyak yang kudapat kecuali gerombolan mahasiswa yang duduk melingkar menghadap laptop masing-masing. Kukira mereka juga berjuang untuk hidup, survive, sukses, karena dibarengi dengan usaha belajar system online sampai larut malam.
Aku khusnudon , entahlah kalau faktanya yang mereka pelajari sekedar untuk tipu-menipu, bual-membual, dan hal mellow lainnya. Urusan situs yang mereka buka itu Facebook, Friendster, Messenger bahkan chating porno sampai JIL tak ada larangannya. Dunia maya, itulah demokrasi liberal sekaligus kapital. Itu hak mereka, toh laptop mereka, hidup mereka juga.
Sebenarnya kalau mereka mau meninggalkan maya dan melihat dunia nyata, sungguh berbeda feel yang tercipta. Ambillah contoh mall dekat Unesa, Pukul 20.00 WIB ditiap sudut mall Royal begitu banyak orang tertawa, berkecukupan, shopaholic, dan jarang sekali tampak wajah gelisah cemberut. Tapi diseberang jalan, didaerah Jetis Wetan tepatnya dibarat RS AL (Rumah Sakit Angkatan Laut) sekitar seratus meter dari Royal, dunia terbalik.
Anak-anak fakir miskin tertawa berkejar-kejaran direl kereta. Pasangan muda yang hanya punya cinta tanpa dana sekedar duduk dirumput menatap gemerlapnya Royal dari luar. Gerombolan anak-anak punk bermain gitar melupakan lapar, dan yang terakhir seorang ibu mencuci pakaian mungkin di bekas sumur tua, membelakangi warung kopi kaum marginal.
Jika berminat, mahasiswa UNESA juga bisa merefresh otak kedaerah dekat Jembatan Merah Plaza, karena tak jauh dari situ di timur kali dekat jembatan ada pemukiman orang-orang “pekerja keras”.
Dulu, malam pertama kali kesana, aku menahan nafas, antara ingin menangis dan menjerit. Bagaimana tidak, Surabaya yang kukira semua rakyat sejahtera ternyata punya cerita lain. Ketika tiba-tiba ada kepala manusia yang nongol dari dalam gerobak sampah, ada percakapan laki-perempuan digerobak lain, ada bocah-bocah kecil tak berbaju mengorek-orek tanah becek disekitar gerobak. Dan “rumah-rumahan” sangat kecil, ditutupi kardus menempel tembok milik orang lain. Itu semua hunian manusia, sama seperti kita. Meraka kaum pemulung, kuli-kuli panggul dipasar ikan yang bertahan eksis untuk tetap hidup. Hiduplah yang mereka perjuangkan.
***
Tengah malam berlalu, perutku berminat untuk diisi agar mampu bertahan hidup. Bersama seorang teman, roda dua kami berhenti di depan hotel Cendana. Bukan untuk masuk kedalam dan menikmati café ber-AC nya. Tapi untuk duduk diwarung kecil milik Pak Ji, memesan teh hangat dan beberapa batang rokok. Aku memilih untuk tak duduk diwarung, didekat telepon umum. Menunggu nasi mawot sambil mengamati pedagang nasi goreng membuatkan dua porsi pesanan kami.
Tak perlu mendramatisir keadaan, karena kenyataanya memang begini. Yang punya uang lebih pantas makan dan istirahat dihotel yang jaraknya 10 meter dari kami. Tapi yang tak mampu, cukup duduk diluar, boleh membayangkan nyamannya di dalam. Asalkan jangan berharap untuk masuk sebelum dompet penuh dengan uang merah bening dan kartu-kartu yang nyaman di pandang.
Si tukang nasi goreng itu kelihatannya masih seumuran denganku, kisaran 20 tahun. Tapi tekatnya mantap, berjuang untuk hidup lewat cara menyuguhkan makanan pada orang lain sampai larut malam. Begitu pun Pak Ji, beliau begitu ramah, bahasa teratur dan dagangannya tak pernah membuat dompet sobek. Dari sore sampai dini hari nanti tak mungkin harganya berubah, meskipun mata dan tubunya telah letih. Pak Ji pahlawan sopir-sopir taksi, pekerja yang pulang malam dan aku yang kurang kerjaan karena mengamati kehidupan Surabaya sampai larut.
Aku belum bosan menulis, meskipun mungkin beberapa yang membaca tulisan ini telah jemu mengupas kata demi kata monoton. Tapi begitu juga adanya kehidupan, ada sebuah titik kebosanan. Semuanya seolah berjalan sama saja dari hari kehari, mereka mengira ini adalah garis Tuhan. Rute Tuhan untuk membawa mereka menuju sebuah perubahan besar atas nama kematian.
Aku belum letih berkelana, motor kami kencang menuju ke daerah Surabaya yang asing bagiku. Aku lupa nama daerah itu, yang jelas dekat dengan kediaman sahabatku tadi. Berhenti di depan Alfamart untuk membeli sebungkus Djarum Black Capucinno, Sampoerna Mild dan cracker biskuit. Selesai membayar kami tak langsung pergi, tapi duduk lagi didepan Alfamart dengan beberapa tukang parkir yang ternyata adalah teman akrab sahabatku.
“Konco-Konco Nongkrongku Bi “
Begitu katanya.
Beginilah Surabaya, persaingan untuk hidup begitu berat sampai-sampai jam 2 malampun masih ada yang menjadi jukir. Setelah habis sebatang Black Capucinoku, aku baru sadar ternyata tepat didepan mataku adalah Indomaret. GENDENG..!! Indomaret dan Alfamart hanya dipisahkan jalan yang lebarnya tak lebih dari 3 meter?
Sales Indomaret keluar, memasang beberapa spanduk.
Indomie diskon 20%
Pulsa Simpati 100 ribu banting seharga 94.000 tanpa syarat
Sales Alfamaret terpancing, mendorong pintu, keluar dari dalam membawa tangga lipat. Beberapa banner, spanduk dan kertas karton bertuliskan macam-macam harga barang murah siap di pasang. Benar-benar perang dingin yang hanya terpisah jalan.
Sadar atau tidak, ternyata memang keduanya selalu berdampingan di berbagai tempat. Seolah sepasang sandal, dimana ada Indomaret pasti ada Alfamart. Sistem marketing macam apa ini? Sebuah konspirasi ataukah sekedar polemik? Aku tak peduli, yang paling murah dan komplit, itulah yang penting. Aku orang Indonesia, fluktuasi harga sangat berpengaruh akan kelangsungan hidup manusia sepertiku. Tepatnya, kesejahteraan kami, para manusia yang disebut sebagai rakyat.
***
Perjalanan belum usai sampai disini, jam 2 malam kami pindah nongkrong di taman Bungkul. Duduk tepat di trotoar sisi barat taman, menghadap jalan raya Darmo. Kami mengurungkan niat untuk berjalan ke tengah Taman, aku takut muntah sekaligus iri. Kasihan melihat fenomena generasi muda yang sebagian diskusi, berjaung hidup, tak punya tempat tinggal, frustasi dan banyak yang syahdu bercumbu pun ada.
Duduk di temani rokok dan pemandangan jalan Darmo ternyata semakin menyadarkanku akan berat dan begitu banyaknya variasi cara bertahan manusia. Beberapa motor berlalu, duduk di jok belakang beberapa cewek yang dicat warna warni rambutnya, bajunya ketat dan benar-benar gila dandanannya.
Mereka yang tadi sempat aku lihat di depan café dangdut Blue Fish. Kasihan mereka, waktu istirahatnya habis untuk bekerja. Kalau tidak salah, mereka adalah adalah kaum purel , sebagian menyebutnya warok. Adalah para penyanyi café-café malam yang konon menjual sauara sekaligus tubuhnya.
“Pelacur yang buruk adalah jenis pekerjaaannya, tapi sejati dirinya tetap manusia yang sama-sama makhluk Tuhan. Tak ada yang bisa menjamin dia masuk neraka, adalah hak Tuhan kemana dia akan dibawa, bukan hak manusia menghakiminya. Kita tak pernah tahu isi hati manusia,hanya Tuhan yang tahu.”
Kalimat dosen filsafat itu tiba-tiba muncul bersamman dengan fikiran burukku, aku segera mendelete pikiran buruk dari otak. Apa hak ku? kenal saja tidak, berani-beraninya aku berprasangka buruk tentang mereka. Antara aku dan Tuhan, Sebuah dosa hampir saja kucetak. Antara aku dan pelacur itu, aku kalah satu point dengannya., karena terburu-buru berbrasangka buruk.
Aku menarik nafas lega. Perjalanan malam ini sangat berarti, ada kemauan dan sebuah ikrar untuk terus hidup, dengan cita aku mati dengan tersenyum, menyisakan kenangan manis pada semua yang mengenaliku. Untuk saat ini aku sangat ingin hidup lebih lama lagi, hidup untuk berbagai arti, berguna lalu mati.
Ciiitttttttt…..!!!
Tepat di depanku, sebuah sepeda motor mendadak putar balik tanpa lampu riting dan melihat keadaan belakang. Motor dibelakang yang sama kencangnya mengerem mendadak, suara mendesit antara ban dan asapal jalan, motor itu sanagt miring. Untuk beberapa detik jantungku shock,
“Djancuukkk…!!”
Pengendara yang mengerem motornya mengumpat, wajahnya merah api menandakan emosi yang memuncak yang terpadu dengan keseimbangan dari reflek kaget akibat motor yang putar balik sembrono.
“Koen Bosen urip ta Cuk? ”
Mengumpat lagi, tapi yang di umpat sudah pergi jauh. Samar raungan motornya masih terdengar. Aku ikut berempati, diam-diam mengutuk pengendara motor tadi. Orang lain berusaha hidup, dia malah mendekati garis mati. Janggal sekali. Sebuah pelajaran tambahan malam ini. Jika ingin mati, mati saja sendiri, tanpa harus membahayakan atau mengakibatkan orang lain celaka.
***
Cerita lain menjadi tambahan referensiku tentang hidup. Secara spontanitas, otak kita akan mengaitkan hidup dengan makhluk hidup, makhluk hidup salah satunya manusia, manusia erat dengan zoon politicon, bermasyarakat dan bernegara.
Pernah satu waktu, Cak Nun (Emha Ainun Najib) mendiskusikan tema klasik, “Rakyat dan Negara” di Balai Pemuda bersama Jamaah Maiyah BangBang Wetan Surabaya. Seru sekali malam itu, ada calon Doctor dan Dosen senior Unesa, Doktor Muda Unair, Gus Lutfi, para jamaah yang terdiri dari berbagai agama, profesi –baik pedagang kaki lima, copet, tukang batu, mahasiswa juga PNS. Membaur bersama, dengan hak bicara yang rata. Kami bukan mencari siapa yang benar dan salah, tapi mencoba menemukan mana yang baik dan memilah yang kurang baik.
Pertanyaan dasar, untuk apa Negara dibangun? Apakah sekedar merepotkan rakyat dengan pajak dan tuntutan lain? Bukan, karena sebenarnya, konsep dasar Negara adalah wadah untuk hidup bersama. Namun memang dasar rakyat Indonesia modern, Negara sekarang lebih dominan menjadi alat untuk memperkaya diri, si cerdas tak bermoral berkali-kali menipu si bodoh melarat. Kebijkan-kebijakan lebih banyak condong urusan bilateral dan multilateral. Untuk intern Negara dianggap sudah baik-baik saja.
Lalu kemana larinya demokrasi kalau seperti ini? Masihkah Indonesia relevan disebut Negara demokrasi? Demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat menjadi samar tertutup birokrasi. Mengurus KTP saja prosedurnya panjang sekali, petugas sedikit malas-malasan, ditambah biaya administrasi ini itu.
Giliran cukong-cukong berkunjung, APBD dikeluarkan sebagai jamuan, berharap akan kembali berlipat-lipat. Akhirnya kita saling menjilat, si bawah menjilat atas, si atas menyogok bawah. Humoris sekali rakyat Negara ini. Maka tak perlu bagi kita memusingkan perkara-perkara seperti ini, toh orang-orang yang memikirkan Negara ini sunngguh-sungguh -B.J. Habibi misalnya- malah terlupakan atau sengaja dilupakan.
Mau tak mau rasanya memang beginilah cara bangsa kita kita hidup, yaitu dengan terseok-seok. Yang primer kan hidup-nya, terseok-seok-nya anggap saja sekunder. Urusan hari ini kita makan apa dan besok makan siapa, Tuhan sudah punya jatah bagi kita pastinya. Bersyukur Karena Tuhan hidup dan abadi.
*Penulis adalah Muhamad Arobi, Mahasiswa Komunikasi G1/III (B36208010)
www.andlovephobe.blogspot.com / moresuck@gmail.com
Tidak semua orang memahami arti dan fungsi dari sebuah hidup. Apakah hidup hanya senggang waktu untuk menunggu kematian? Apakah hidup adalah sebuah kepasrahan untuk mengikuti alur takdir Tuhan? Ataukah hidup semata-mata sebuah pelarian untuk selalu menjadi yang terdepan, terkenal dan pemenang?
Semestinya dalam hidup pun kita harus meyakinkan diri, bahwa apapun yang diberikan Tuhan, itu yang terbaik bagi kita. Meskipun dalam hati, hal itu bukanlah yang kita senangi dan harapkan. Disinilah peran campur tangan Tuhan begitu dominan. Sehingga jangan sampai terjadi, dimana satu masa kita mencoba untuk mengkambing hitamkan Tuhan, atas hal buruk yang menimpa kita. Karena hakikatnya, semua terancang tepat dan ada hikmah dibalik perkara.
Satu ketika, berawal dari sedikit pengetahuan tentang konsep wahdatul wujud yang diprakarsai oleh Al Hallaj dan Ibnu Arabi. Muncul sebuah pemikiran nakal dalam otak.
Jika benar wahdatul wujud itu ada, maka manusia adalah tuhan (pecahan-Nya). Tuhan berhak untuk otoriter, kenapa aku tidak? Tuhan berhak murka, maka akupun ingin seperti itu setidaknya. Tuhan berbeda dengan makhluk-Nya, Tuhan diskriminatif –kah?
Banayak karib, saudara dan sekedar kenalan aku tanyai berkaitan hal ini. Entah secara face to face sampai via email dan sms. Belum ada jawaban yang memuaskan, semua cenderung takut dan lebih memberikan advice untuk beristighfar. Dua bulan terombang-ambing akhirnya lahir jawaban yang mencengangkan dari seorang karib dari UII Jogja.
Wahdatul wujud akeh bukune.
Tuhan diskriminatif?
Njur pengenmu piye?
Sing Tuhan itu manusia, opo Tuhan?
Yang punya hak itu manusia opo Tuhan?
Urip wae syukur.
Pertanyaan terjawab secara logis dan rasional. Jawabannya ternyata hanya dengan memutar balikkan kalimat. Tapi ada satu pesan moral dikalimat terakhir yang menyentakku, -urip wae syukur-. Seolah setelah hidup hampir 20 tahun baru tersadar bahwa bukan hanya langit dan bumi yang dimiliki Tuhan, tapi kesempatan untuk menikmati hidup normal adalah sekedar titipan.
***
Flash back ke bulan Juli lalu. Sempat aku menulis catatan perjalanan yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Di WC umum terminal Purabaya, aku mencoba renungi kehidupan manusia. Mungkin bukan tempat yang tepat untuk merenung, bukan di ruang belajar, tidak dalam masjid, bahkan tidak dalam sebuah tempat yang pantas disebut ruangan.Ini sekedar renungan, bukan kontemplasi atau konsiderasi. Tidak wilayahku memakai bahasa ilmuan seperti itu.
Sebelumnya, sore tadi sesaat setelah sholat asar di masjid Ulil Absar nuansa paradoks dunia begitu kental. Tampak tak jauh dari dipintu gerbang sebuah universitas -institut tepatnya- Islam terbesar di Surabaya, yang terletak di jalan Ahmad Yani, seorang Kakek sepuh. Bukannya dia sedang iseng, tapi sedang menengadahkan kedua tangan, persis dengan posisi orang berdoa, matanya memandang lurus ke muka. Dia seorang pengemis.
Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka yang keluar masuk gerbang universitas mengasihaninya? Mereka yang duduk di jok motor dan kursi mobil ber-AC, kaum rohanian, bahkan yang berjalan megal-megol dengan menenteng berbagai macam buku referensi ilmu barat dan timur, pernah mengira bahwa kakek itu sedang berjuang? Sampai-sampai si Kakek sepuh itu mengemis dengan mengandalkan tangannya. Bukan memakai gelas air mineral, tidak juga mangkok seperti kebanyakan pengemis lainnya. Si Sepuh berjuang hidup, dengan cara memohon pada manusia, serta Tuhan yang kabarnya ada diatas sana.
Jangan-jangan ini indikasi mereka sudah master pemahaman hukum agamanya? Ikut setuju untuk menghakimi bahwa mengemis itu haram hukumnya. Jadi tidak perlu repot-repot mempedulikan pengemis. Kalau saja pengemis diberi hak mengemukakan pendapat, diberi kesempatan menjawab, pasti keluar pertanyaan; Lebih haram mana antara mengemis dan tidak menjalankan amanat mengurusi fakir miskin dan anak-anak terlantar? UUD itu karangan bebas atau memang aturan? Kalau UUD berjalan, zakat, bantuan dan sumbangan-sumbangan sampai tujuan, tak perlu lagi ada kaum pengemis dinegeri ini..
Apa mau dikata? Rasanya memang beginilah gambaran kapitalisme yang lahir dari dunia akademisi agamis metropolis. Seolah dosen terlalu terpaku teori, memprioritaskan gaji, bersama mahasiswa nya sumringah dengan gaya hedonis semi melankonis. Sampai-sampai kepekaan sosialitas terkikis, dan menjadi homo homini lupus.
Beginilah perihnya kehidupan urban, siapa yang harus dibela melihat fenomena seperti diatas? Padahal berapa kali setahun kita lihat banyak kalangan gembor-gembor diseminar, berdiskusi dengan para ahli mencari solusi. Pakar ini, disandingkan dengan ahli itu, dimintai opini. Tapi opini hanya sampai tahap teori, katanya ikut berempati, tapi masih saja seperti ini kondisi. Ketika solusi hanya sampai tahap teori, aplikasi hanya jadi ilusi.
Bagiku semua tak ada yang benar dan salah, karena aku hanya faham teori relativitas, dari mana kita melihatnya. Sedikit menegaskan, begitulah cara-cara manusia memperjuangkan hidup. Ada yang jadi ahli, kaum tengah, ada yang fakir miskin, dan kaum marginal lainnya. Setiap manusia dikapling berdasar profesi, belum sempat terfikir untuk menjadikan satu kesatuan atas nama kemanusiaan. Agama yang harusnya berperan untuk itu, sekarang jadi mainan dan bahan olok-olokan.
***
Malam datang, perjalanku terhenti disalah satu kampus ternama lagi, Universitas Negeri Surabaya, daerah Ketintang tepatnya. Selama tujuh jam aku disana, tak banyak yang kudapat kecuali gerombolan mahasiswa yang duduk melingkar menghadap laptop masing-masing. Kukira mereka juga berjuang untuk hidup, survive, sukses, karena dibarengi dengan usaha belajar system online sampai larut malam.
Aku khusnudon , entahlah kalau faktanya yang mereka pelajari sekedar untuk tipu-menipu, bual-membual, dan hal mellow lainnya. Urusan situs yang mereka buka itu Facebook, Friendster, Messenger bahkan chating porno sampai JIL tak ada larangannya. Dunia maya, itulah demokrasi liberal sekaligus kapital. Itu hak mereka, toh laptop mereka, hidup mereka juga.
Sebenarnya kalau mereka mau meninggalkan maya dan melihat dunia nyata, sungguh berbeda feel yang tercipta. Ambillah contoh mall dekat Unesa, Pukul 20.00 WIB ditiap sudut mall Royal begitu banyak orang tertawa, berkecukupan, shopaholic, dan jarang sekali tampak wajah gelisah cemberut. Tapi diseberang jalan, didaerah Jetis Wetan tepatnya dibarat RS AL (Rumah Sakit Angkatan Laut) sekitar seratus meter dari Royal, dunia terbalik.
Anak-anak fakir miskin tertawa berkejar-kejaran direl kereta. Pasangan muda yang hanya punya cinta tanpa dana sekedar duduk dirumput menatap gemerlapnya Royal dari luar. Gerombolan anak-anak punk bermain gitar melupakan lapar, dan yang terakhir seorang ibu mencuci pakaian mungkin di bekas sumur tua, membelakangi warung kopi kaum marginal.
Jika berminat, mahasiswa UNESA juga bisa merefresh otak kedaerah dekat Jembatan Merah Plaza, karena tak jauh dari situ di timur kali dekat jembatan ada pemukiman orang-orang “pekerja keras”.
Dulu, malam pertama kali kesana, aku menahan nafas, antara ingin menangis dan menjerit. Bagaimana tidak, Surabaya yang kukira semua rakyat sejahtera ternyata punya cerita lain. Ketika tiba-tiba ada kepala manusia yang nongol dari dalam gerobak sampah, ada percakapan laki-perempuan digerobak lain, ada bocah-bocah kecil tak berbaju mengorek-orek tanah becek disekitar gerobak. Dan “rumah-rumahan” sangat kecil, ditutupi kardus menempel tembok milik orang lain. Itu semua hunian manusia, sama seperti kita. Meraka kaum pemulung, kuli-kuli panggul dipasar ikan yang bertahan eksis untuk tetap hidup. Hiduplah yang mereka perjuangkan.
***
Tengah malam berlalu, perutku berminat untuk diisi agar mampu bertahan hidup. Bersama seorang teman, roda dua kami berhenti di depan hotel Cendana. Bukan untuk masuk kedalam dan menikmati café ber-AC nya. Tapi untuk duduk diwarung kecil milik Pak Ji, memesan teh hangat dan beberapa batang rokok. Aku memilih untuk tak duduk diwarung, didekat telepon umum. Menunggu nasi mawot sambil mengamati pedagang nasi goreng membuatkan dua porsi pesanan kami.
Tak perlu mendramatisir keadaan, karena kenyataanya memang begini. Yang punya uang lebih pantas makan dan istirahat dihotel yang jaraknya 10 meter dari kami. Tapi yang tak mampu, cukup duduk diluar, boleh membayangkan nyamannya di dalam. Asalkan jangan berharap untuk masuk sebelum dompet penuh dengan uang merah bening dan kartu-kartu yang nyaman di pandang.
Si tukang nasi goreng itu kelihatannya masih seumuran denganku, kisaran 20 tahun. Tapi tekatnya mantap, berjuang untuk hidup lewat cara menyuguhkan makanan pada orang lain sampai larut malam. Begitu pun Pak Ji, beliau begitu ramah, bahasa teratur dan dagangannya tak pernah membuat dompet sobek. Dari sore sampai dini hari nanti tak mungkin harganya berubah, meskipun mata dan tubunya telah letih. Pak Ji pahlawan sopir-sopir taksi, pekerja yang pulang malam dan aku yang kurang kerjaan karena mengamati kehidupan Surabaya sampai larut.
Aku belum bosan menulis, meskipun mungkin beberapa yang membaca tulisan ini telah jemu mengupas kata demi kata monoton. Tapi begitu juga adanya kehidupan, ada sebuah titik kebosanan. Semuanya seolah berjalan sama saja dari hari kehari, mereka mengira ini adalah garis Tuhan. Rute Tuhan untuk membawa mereka menuju sebuah perubahan besar atas nama kematian.
Aku belum letih berkelana, motor kami kencang menuju ke daerah Surabaya yang asing bagiku. Aku lupa nama daerah itu, yang jelas dekat dengan kediaman sahabatku tadi. Berhenti di depan Alfamart untuk membeli sebungkus Djarum Black Capucinno, Sampoerna Mild dan cracker biskuit. Selesai membayar kami tak langsung pergi, tapi duduk lagi didepan Alfamart dengan beberapa tukang parkir yang ternyata adalah teman akrab sahabatku.
“Konco-Konco Nongkrongku Bi “
Begitu katanya.
Beginilah Surabaya, persaingan untuk hidup begitu berat sampai-sampai jam 2 malampun masih ada yang menjadi jukir. Setelah habis sebatang Black Capucinoku, aku baru sadar ternyata tepat didepan mataku adalah Indomaret. GENDENG..!! Indomaret dan Alfamart hanya dipisahkan jalan yang lebarnya tak lebih dari 3 meter?
Sales Indomaret keluar, memasang beberapa spanduk.
Indomie diskon 20%
Pulsa Simpati 100 ribu banting seharga 94.000 tanpa syarat
Sales Alfamaret terpancing, mendorong pintu, keluar dari dalam membawa tangga lipat. Beberapa banner, spanduk dan kertas karton bertuliskan macam-macam harga barang murah siap di pasang. Benar-benar perang dingin yang hanya terpisah jalan.
Sadar atau tidak, ternyata memang keduanya selalu berdampingan di berbagai tempat. Seolah sepasang sandal, dimana ada Indomaret pasti ada Alfamart. Sistem marketing macam apa ini? Sebuah konspirasi ataukah sekedar polemik? Aku tak peduli, yang paling murah dan komplit, itulah yang penting. Aku orang Indonesia, fluktuasi harga sangat berpengaruh akan kelangsungan hidup manusia sepertiku. Tepatnya, kesejahteraan kami, para manusia yang disebut sebagai rakyat.
***
Perjalanan belum usai sampai disini, jam 2 malam kami pindah nongkrong di taman Bungkul. Duduk tepat di trotoar sisi barat taman, menghadap jalan raya Darmo. Kami mengurungkan niat untuk berjalan ke tengah Taman, aku takut muntah sekaligus iri. Kasihan melihat fenomena generasi muda yang sebagian diskusi, berjaung hidup, tak punya tempat tinggal, frustasi dan banyak yang syahdu bercumbu pun ada.
Duduk di temani rokok dan pemandangan jalan Darmo ternyata semakin menyadarkanku akan berat dan begitu banyaknya variasi cara bertahan manusia. Beberapa motor berlalu, duduk di jok belakang beberapa cewek yang dicat warna warni rambutnya, bajunya ketat dan benar-benar gila dandanannya.
Mereka yang tadi sempat aku lihat di depan café dangdut Blue Fish. Kasihan mereka, waktu istirahatnya habis untuk bekerja. Kalau tidak salah, mereka adalah adalah kaum purel , sebagian menyebutnya warok. Adalah para penyanyi café-café malam yang konon menjual sauara sekaligus tubuhnya.
“Pelacur yang buruk adalah jenis pekerjaaannya, tapi sejati dirinya tetap manusia yang sama-sama makhluk Tuhan. Tak ada yang bisa menjamin dia masuk neraka, adalah hak Tuhan kemana dia akan dibawa, bukan hak manusia menghakiminya. Kita tak pernah tahu isi hati manusia,hanya Tuhan yang tahu.”
Kalimat dosen filsafat itu tiba-tiba muncul bersamman dengan fikiran burukku, aku segera mendelete pikiran buruk dari otak. Apa hak ku? kenal saja tidak, berani-beraninya aku berprasangka buruk tentang mereka. Antara aku dan Tuhan, Sebuah dosa hampir saja kucetak. Antara aku dan pelacur itu, aku kalah satu point dengannya., karena terburu-buru berbrasangka buruk.
Aku menarik nafas lega. Perjalanan malam ini sangat berarti, ada kemauan dan sebuah ikrar untuk terus hidup, dengan cita aku mati dengan tersenyum, menyisakan kenangan manis pada semua yang mengenaliku. Untuk saat ini aku sangat ingin hidup lebih lama lagi, hidup untuk berbagai arti, berguna lalu mati.
Ciiitttttttt…..!!!
Tepat di depanku, sebuah sepeda motor mendadak putar balik tanpa lampu riting dan melihat keadaan belakang. Motor dibelakang yang sama kencangnya mengerem mendadak, suara mendesit antara ban dan asapal jalan, motor itu sanagt miring. Untuk beberapa detik jantungku shock,
“Djancuukkk…!!”
Pengendara yang mengerem motornya mengumpat, wajahnya merah api menandakan emosi yang memuncak yang terpadu dengan keseimbangan dari reflek kaget akibat motor yang putar balik sembrono.
“Koen Bosen urip ta Cuk? ”
Mengumpat lagi, tapi yang di umpat sudah pergi jauh. Samar raungan motornya masih terdengar. Aku ikut berempati, diam-diam mengutuk pengendara motor tadi. Orang lain berusaha hidup, dia malah mendekati garis mati. Janggal sekali. Sebuah pelajaran tambahan malam ini. Jika ingin mati, mati saja sendiri, tanpa harus membahayakan atau mengakibatkan orang lain celaka.
***
Cerita lain menjadi tambahan referensiku tentang hidup. Secara spontanitas, otak kita akan mengaitkan hidup dengan makhluk hidup, makhluk hidup salah satunya manusia, manusia erat dengan zoon politicon, bermasyarakat dan bernegara.
Pernah satu waktu, Cak Nun (Emha Ainun Najib) mendiskusikan tema klasik, “Rakyat dan Negara” di Balai Pemuda bersama Jamaah Maiyah BangBang Wetan Surabaya. Seru sekali malam itu, ada calon Doctor dan Dosen senior Unesa, Doktor Muda Unair, Gus Lutfi, para jamaah yang terdiri dari berbagai agama, profesi –baik pedagang kaki lima, copet, tukang batu, mahasiswa juga PNS. Membaur bersama, dengan hak bicara yang rata. Kami bukan mencari siapa yang benar dan salah, tapi mencoba menemukan mana yang baik dan memilah yang kurang baik.
Pertanyaan dasar, untuk apa Negara dibangun? Apakah sekedar merepotkan rakyat dengan pajak dan tuntutan lain? Bukan, karena sebenarnya, konsep dasar Negara adalah wadah untuk hidup bersama. Namun memang dasar rakyat Indonesia modern, Negara sekarang lebih dominan menjadi alat untuk memperkaya diri, si cerdas tak bermoral berkali-kali menipu si bodoh melarat. Kebijkan-kebijakan lebih banyak condong urusan bilateral dan multilateral. Untuk intern Negara dianggap sudah baik-baik saja.
Lalu kemana larinya demokrasi kalau seperti ini? Masihkah Indonesia relevan disebut Negara demokrasi? Demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat menjadi samar tertutup birokrasi. Mengurus KTP saja prosedurnya panjang sekali, petugas sedikit malas-malasan, ditambah biaya administrasi ini itu.
Giliran cukong-cukong berkunjung, APBD dikeluarkan sebagai jamuan, berharap akan kembali berlipat-lipat. Akhirnya kita saling menjilat, si bawah menjilat atas, si atas menyogok bawah. Humoris sekali rakyat Negara ini. Maka tak perlu bagi kita memusingkan perkara-perkara seperti ini, toh orang-orang yang memikirkan Negara ini sunngguh-sungguh -B.J. Habibi misalnya- malah terlupakan atau sengaja dilupakan.
Mau tak mau rasanya memang beginilah cara bangsa kita kita hidup, yaitu dengan terseok-seok. Yang primer kan hidup-nya, terseok-seok-nya anggap saja sekunder. Urusan hari ini kita makan apa dan besok makan siapa, Tuhan sudah punya jatah bagi kita pastinya. Bersyukur Karena Tuhan hidup dan abadi.
*Penulis adalah Muhamad Arobi, Mahasiswa Komunikasi G1/III (B36208010)
www.andlovephobe.blogspot.com / moresuck@gmail.com
0 comments
click to leave a comment!