search here and find more articles

Senin, 05 Agustus 2013

Mudik. Its mean back.

Ini bisa jadi tahun ke-5 dimana sendirian merasakan apa itu mudik. Menikmati suasana jalan yang begitu ramai, apa-apa yang berubah mahal harganya, beberapa orang mengenakan baju baru dan barang-barang yang begitu banyak mereka bawa. Meninggalkan kota, kembali kedesa.

Hanya di Indonesia, dari berbagai negara di dunia yang punya budaya mudik. Itu informasi media yang aku dengar. Tapi tiba-tiba, sambil memikirkan berapa banyak taraweh yang bolong, seberapa harunya perpisahan di juanda siang tadi mengantar sodara mudik, sepanjang jalan terfikir, apa hakikat mudik secara batin.

Mudik, jika memang dikaitkan dengan kembali ke desa, ke asal, ke rumah, ke hal paling dasar, maka apakah jiwa kita juga akan kembali ke dasar? Ke Yang Paling Awal, Maha Awal. Untuk urusan dunia, disaat mudik, kita bawa apa saja yang bisa kita pamerkan di rumah, segepok uang hasil jerih payah, status pekerjaan dan apapun saja yang bisa kita bawa sebanyak mungkin. Tapi, coba sedikit kita merenung, sebanyak itu pulakah bekal yang nantinya akan kita bawa? Kepada Yang Maha Awal di saat kita "mudik" kepada.Nya. Atau jangan-jangan kita belum satu kardus kebaikan pun untuk kita tunjukkan pada Nya? Apa kita sempat berfikir, apa sebenarnya status kita di hadapan Nya? Pendosa kah? Penurut kah? Golongan taat kah? Atau apa?

Semoga, jika kita masih diberi nikmat sempat, setelah berhalal bi halal di kampung halaman dan di awal syawal ini, menjadi momentum untuk mencari bekal mudik sebanyak mungkin agar kita mampu memberikan banyak "oleh-oleh" kepada Nya. Amin