Selasa, 16 Oktober 2012

Tentang "Rayya : Cahaya Di Atas Cahaya "


Film ini seolah konklusi dari beberapa pemaparan Emha dlm bbrp buku yg pernah beliau tulis, kisah tentang penjual karak, sama dg cerita di buku (kalo gak Indonesia bagian dr desa saya, atau EAN jogja - indo PP) tentang seorang yg memjual cendol dipinggr sawah. Saudagar yg kebetulan lewat dan melihat merasa iba dan ingin memborong smua cendol itu, sayangnya niat saudagar it ditolak oleh penjual cendol dg alasan kasihan nanti kalau ada org yg ingn membeli kecewa krn cendolnya hbs. Dagang bagi dia, bukan hny soal untng rugi, strategis atau sepi. Tpi tentang bekerja kpd Tuhan, menolong yg dahaga ditengah jalan. Subhanallah.


Pun dg kisah tentang perawan dg profesi pembuat rokok,
dimana dlm edisi buku, Emha menyindir mahasiswa yg hanya siap dan berani untk menduduki profesi dg prestise tinggi, namun belum tntu memiliki mental kberanian untk berprofesi sbg tkng bakso. Yg sebenarnya sama2 mulianya dihadapan Tuhan.


. Malah sy sedikit curiga, kisah percerain yg dialami Arya dg istrinya, adalah catatan kehidupan pribadi beliau dg "ia" yg sebelumnya. Tentunya dg beberapa hal yg dimodifikasi untk penyesuaian film. Sedangkan dlm buku Kerajaan Indonesia, Emha bertutur tentang keikhlasan beliau melepaskan "ia". Pengunkapan melalui wawancara dlm buku itu menggambrkan bhw emha siap n berani dg sepenuh ikhlas, untuk mengamankan, mengayomi dan menyelamatkan hub "ia" dg kekasih barunya.

Dan tentunya, bagi penikmat buku beliau, ini akan jadi mozaik2 yg disusun ulang secara acak dg format audio visual yg berkelas. Baik pemilihan pemain film maupun view yg indonesia bgt.

Anda harus setuju bhwa Emha bukanlah penulis yg fokus seperti pd umumnya. Namun ketidakfokusan itulah yg malah berimplikasi pd ke kaffah an tulisan beliau. Coba anda amati, sbg contoh, ketika beliau menulis tentang makan. Maka bukan hanya lidah dan perut sebagai anak kalimatnya. Namun, bs menyerempet smp ke urusan istikharah pemilihan warungnya, dari sisi ekonominya, budaya serta agama dan politik sembako yg terjadi.

Hal ini jg terjadi dlm film Rayya, dmn dalam film itu diselipkan beberapa isu dr berbgai bidang; ekonomi menampilkan tembakau dipabrik rokok yg ditangani oleh para buruh, pasar tradisional. Budaya memamerkan reog: pendidikan menjlentrehkan sekolah alam.

Apapun itu, saya sepakat dg statemet Titi Sjuman bhw jangan menonton Rayya kalau tidak punya masalah. Maka, film ini layak bagi kita yg bermasalah, untuk menontonnya. Tolong dihayati, dimuka lebar2 mata batin kita saat menonton. Agar kita jadi tahu, berilmu, mencintai, kemudian sampai pada titik taqwa. Amien