search here and find more articles

Jumat, 09 Januari 2009

....." Pesan Malam...!!

Pesan Malam

“Angga, semua itu tergantung keputusan Bapak.” Ucapanmu tadi siang benar-benar menggenangi otakku sampai malam ini. Apa iya kamu akan begitu saja rela dan ikhlas jika dinikahkan dengan orang lain? Apa kamu tidak bisa menolak ketika yang akan menjadi pendamping hidupmu adalah orang pilihan Bapakmu, bukan pilihanmu? Lalu apa artinya hubungan kita selama ini? Apa artinya? Apa rasa ini akan segera lenyap saat kamu dinikahkan oleh Bapakmu?
Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk hingga kesetiap sudut lalu lalang darah dalam tubuhku. Tapi semuanya hanya akan menjadi pertanyaan-pertanyaan beku dan mati yang tetap saja Aku tak berani atau mungkin tak akan pernah berani menanyakan semua ini padamu. Aku terlampau takut jika pertanyaan-pertanyaanku itu menyakiti perasaanmu.

*******

Kamu masih tetap Ana, adik kelasku yang kurasa begitu anggun dan begitu dekat denganku. Bukan dekat tetapi memang telah menjadi separuh warna kehidupanku. Aku tak pernah memanggilmu “Pacar”, karena Aku benci istilah itu. Kamu pun tak pernah protes akan hal itu. Tetapi dibalik itu semua, kita layaknya orang yang pacaran di sekolah, toh esensi hubungan kita tak jauh berbeda dengan orang yang berpacaran, dimana janji, suka, duka, rasa, saling menyayangi juga memiliki seolah-olah kita rasakan bersama.
Keluargamu adalah keluarga yang terpandang di lingkunganmu. Bapakmu pun orang yang tegas dalam mendidik anak-anaknya, apalagi masalah jodoh. Bapak tak pernah kompromi dengan siapapun karena beliau sendiri yang akan memilihkan yang terbaik untuk anak gadisnya, meskipun anak-anaknya merasa itu bukan pilihan dan keputusan yang terbaik. Tapi apa boleh buat? Dari kecil, kamu adalah anak pingit yang tak pernah dibiarkan lepas kedunia seorang diri. Bapak selalu mengajari tentang “Nerimo Ing Pandhum” dan satu hal lagi, bukankah pilihan orang tua adalah pilihan yang terbaik untuk anaknya? Ungkapmu suatu hari.
Malamku benar-benar pekat. Aneh memang, Aku masih kelas 3 SMA sudah memikirkan rencana untuk menikah dari pada memikirkan nilai Ujian Nasionalku. Aku memang harus memikirkannya, waktu menuntutku untuk segera memikirkannya. Bagaimana tidak? Sebulan lalu datang pemuda yang ingin meminangmu datang menemui Bapak dengan membawa serta orang tuanya.
Dari ceritamu, entah benar atau tidak, Aku tak peduli kamu menguping dan mengintip dari lubang kunci pintu kamar perbincangan dua pihak yang bertemu.
“Jadi bagaimana Pak?”
“Ana masih sekolah jadi saya belum bisa memutuskan, nanti kalau Ana sudah lulus dan memang Gusti Allah menjodohkan dengan anak Bapak pasti saya ridhoi. Tapi kalau Gusti Allah berkehendak lain ya saya memohon maaf karena bukankah jodoh itu ditangan Gusti Allah? Iya tho?”
Tahukah kamu Ana, saat mendengar ceritamu itu, tubuhku benar-benar terguncang, pikiranku penuh dengan perasaan, antara marah entah pada siapa, juga takut hingga keringat dingin turun dari celah-celah rambut menggenangi leher. Diam sejenak menghentikan nafas dan sejuta imajinasi yang berwarna hitam putih, mungkin gradasi hitam putih, namun lebih meraja hitam.
Aku palingkan wajah menatap jam dinding, 20:35, Kukedipkan mata memastikan lagi penglihatan. Sungguh 20:35, berarti sudah lebih dari satu jam Aku duduk diatas sajadah biru hanya untuk memikirkanmu Ana. Huh………entah kenapa air mata meleleh membasahi tangan yang erat dengan Al-Qur’an. Waktu benar-benar berjalan tapi kenapa kurasa terlalu cepat dari biasanya. Lalu bagaimana denga coretan rancangan hidupku yang telah kutuliskan tadi sore?
Secarik kertas impian 4 tahun kedepanku adalah impian bahwa selepas SMA Aku harus sudah bisa mencari penghasilan, juga kuliah. Tahun-tahun selanjutnya Aku akan mencicil untuk bisa punya rumah, ya rumah dengan teras luas penuh bunga untukku dan kamu Ana. Aku kan membangunnya sebelum kuselesaikan S1-ku karena setelah S1 kusandang, Aku akan langsung melamarmu.
Rasanya berat empat tahun kedepan kehidupanku untuk bisa mendapatkan semua, tapi Aku yakinkan diri, Aku bisa demi kamu Ana.
Seketika kepalaku pening, terpapar ombak besar yang datang. Bagaimana jika ternyata tepat kamu lulus SMA pemuda yang dulu itu melamar lagi? Apa jadinya jika ternyata kamu telah dijodohkan? Lalu usahaku akan menjadi pasir diterpa ombak membuyar dan hilang.
Sempat terbesit untuk melamarmu setelah lulus SMA. Tapi dengan modal apa Aku melamarmu? Apa hanya dengan bermodal “Cinta” lalu orang tuamu akan begu itu saja menyetujui lamaranku? Akan kuberi makan apa kamu? Ini GILA……!! itu lebih tak mungkin lagi. Bukannya aku menafikan janji Gusti Allah yang akan membuka pintu rizki untuk hamba-Nya setelah menikah, namun Aku juga memikirkan apa Aku dan kamu telah siap lahir batin untuk membina rumah tangga pada usia dini? Kalau untuk nekat, aku yakin no satu. Tapi sekali lagi, orang tuamu akan beranggapan aku ini gila, tidak rasional dalam hidup. Orang tuamu semakin takkan membiarkanmu dipinang orang setengah matang sepertiku. Itulah kenapa Aku memutuskan harus menikah setelah S1. Huuh………entahlah, kepalaku semakin pening. Kubungkam mulut dan fikiranku, kutuntun telingaku hanya untuk menyimak sesuatu.

Saat-saat seperti ini.
Pintu telah terkunci.
Lampu telah mati.
Kuingin pulang tuk segera berjumpa denganmu.

Waktu-waktu seperti ini.
Didalam selimut.
Harapkan mimpi bayangan pulang.
Tuk segera berjumpa denganmu.

Kuingin kau tahu.
Kubergetar merindukanmu.
............................................
.............................................

Sejenak lagu Ingin pulang-nya Sheila On 7 itu telah sedikit menyumbangkan ketenangan dalam keruhnya otak, terbayang telah resmi menjadi suamimu Ana.

*******

Masih duduk termenung, telunjuk tanganku seolah-olah menjelma tongkat kecil yang menuliskan nama “Ana” diatas sajadah yang laksana tepi pantai. Mengulang menulis lagi, terhapus ombak, menulis lagi, ombak yang sama datang lagi, hingga kusadari bahwa Aku berada ditengah kebosanan menulis dan menghapus sebuah nama untuk yang keseribu kalinya.

*******

Dingin angin malam menjalar dari jendela yang setengah terbuka menyadarkanku bahwa malam telah mencapai puncaknya. Aku beranjak menuju meja belajar, menatap lalu memungut kertas yang begitu kusut dan lesu.tampak begitu rumit karena terlalu banyak mimpi yang mungkin tak pernah menjadi nyata. Sekilas wajahmu terbias dari dasar kertas mimpi ini. Lalu lenyap.
Kupadamkan lampu kamar. Pekat. Tampak bintang gemintang yang begitu bebas bersinar di langit timur, tapi awan dari selatan tiba-tiba bergerilya membentengi kilauan bintang. Aku meruntuk awan selatan, mereka menghalangiku sekedar menikmati bintang. Enggan Aku menutup jendela, kuingin menikmati angin malam ini dengan harapan angin akan mengusung mimpi terindah malam ini. Mimpi tentang masa depan Ana dan Aku.

*******

Angin ternyata menyuguhkan mimpi. Bukan, tapi lebih baik kusebut pesan. Penggalan pesan yang lama kudengar “….bukankah jodoh itu di tangan Gusti Allah?” Nafasku mendadak ringan, sangat ringan hingga seluruh anggota tubuhku serempak mengatakan “Iya”. Disisi lain tanganku tergerak untuk segera memungut handphone yang baru saja berdering. Satu pesan diterima.

“ Angga...bngun dunk..!!
Qt tahajud yuk, qt bdoa sma Allah
smoga hati qt dsatuin smp qt mati.
Amien...!!
slm cayang, Ana.”
Saturday, 02 Februari 2008
02.21 WIB
Sender: 085642422xxx

Aku benar-benar tersenyum dan menangis malam ini. Entah inikah pertanda akan cintaku yang tak bertepuk sebelah tangan atau karena ketenangan batin serta semangat yang tiba-tiba kurasa? Aku tak tahu dan tak harus tahu. Tetapi Gusti Allah mungkin memihak kepada kita, Aku dan kamu Ana. Semoga saja begitu.

Solo, Februari 2008
Abimanyu.

1 comments

click to leave a comment!

Anonim
11:24 PM Delete comments

hhmmm.............
no comment.........


kisah nyata bukan??!!

Reply
avatar